Home / Kepri / Oknum Pejabat Pusat Dapil Kepri Diduga Membungkam Suara Melayu

Oknum Pejabat Pusat Dapil Kepri Diduga Membungkam Suara Melayu

Pansus DPR Mandul, Mafia Lahan Makin Perkasa di Batam–Rempang–Galang

Daulatkepri.Com] Seorang oknum pejabat pusat asal Kepulauan Riau diduga berperan dalam upaya membungkam suara masyarakat Melayu di Batam, Rempang, dan Galang (Barelang). Langkah itu ditengarai untuk memuluskan kepentingan konsorsium besar yang menguasai bisnis strategis di kawasan tersebut.

Sumber menyebutkan, aksi pembungkaman dilakukan melalui “politik rezeki” kepada sejumlah anggota DPR RI dalam beberapa bulan terakhir.

“Ada indikasi pembungkaman terhadap suara-suara masyarakat Melayu di Batam dan Rempang lewat pendekatan kepada sentra kekuatan politik di pusat. Oknum tersebut beraksi lewat lembaga legislatif, dan besar kemungkinan pejabat asal Kepulauan Riau,” kata Direktur PT Dani Tasha Lestari (DTL), Rury Afriansyah, di Batam, Senin (1/9).

Pansus Mandul, Konsorsium Untung

Mandeknya kerja Panitia Khusus (Pansus) DPR menjadi bukti dugaan intervensi itu.

Komisi VI DPR RI membentuk Pansus untuk mengevaluasi tata kelola lahan di Batam.

Komisi III DPR RI membentuk Pansus Anti Mafia Tanah untuk menindak praktik mafia di Batam–Rempang–Galang.

Namun sejak Februari 2025, keduanya tak menghasilkan laporan transparan.

Seorang warga Batam Center, Erik, menilai kunjungan Komisi VI hanya formalitas.

“Mereka datang, naik mobil mewah, makan enak, tidur di hotel mewah, lalu pulang. Tidak ada satu pun lahan yang dikembalikan ke pemiliknya.”

 

Hal serupa terjadi di Komisi III. Warga lain, Edi, menegaskan Pansus Anti Mafia Tanah justru memperkuat konsorsium.

“Lahan Hotel Purajaya tetap dikuasai PT Pasifik. Perobohan dua tahun lalu pun tak pernah diproses hukum.”

 

Purajaya: Simbol Melayu yang Diratakan

Hotel Purajaya, ikon pariwisata Batam berdiri sejak 1988 milik keluarga Megat Rurry Afriansyah, dirobohkan tahun 2023. Bangunan bernilai Rp922 miliar itu rata tanpa putusan pengadilan. Aparat hadir, tapi hanya menonton.

Aktivis Monica Nathan menyebut peristiwa ini sebagai penghinaan terhadap marwah Melayu.
LAM Kepri bahkan menuding kuatnya mafia tanah yang dilindungi “ordal”: polisi, DPRD, partai, hingga hakim.

Namun, surat resmi LAM kepada Presiden tak pernah dijawab. Kontradiksi mencolok: di istana budaya Melayu dipuji, di museum nasional tak mendapat ruang, di Batam simbolnya dihapus.

 

Pelabuhan Batam Center: Digeser Konsorsium

Kasus lain terjadi di Pelabuhan Feri Internasional Batam Center.
Awalnya dibangun PT Synergi Tharada, kini pengelolaan diberikan kepada PT Metro Nusantara Bahari, bagian dari konsorsium Pasifik yang juga merobohkan Purajaya.

Aktivis lingkungan Leo mengingatkan bahwa pelabuhan ini akan direklamasi hingga 1.400 hektare.

“Karena sudah dikuasai satu kelompok, kelak pelabuhan mudah digeser kapan saja.”

 

Rempang: Warga Tempatan Terusir

Konsorsium yang sama kini menguasai 17.000 hektare lahan di Pulau Rempang dan Galang. Tanpa modal, tanpa membayar UWT, mereka mulai menggusur warga tempatan.

Modusnya menggunakan warga pendatang sebagai proksi: sebagian dipindahkan ke rumah baru berstatus Hak Milik.

Seorang warga Rempang, Riki, menilai kebijakan BP Batam cacat hukum.

“Apa dasar BP Batam bisa mengeluarkan sertifikat Hak Milik di Rempang? Ini jelas kerja mafia.”

Negara Diam, Melayu Ditinggalkan

Dari kasus Purajaya, Pelabuhan Batam Center, hingga Rempang, polanya sama: konsorsium menguasai lahan strategis dengan dukungan politik pusat.

Melayu, yang bahasanya dijadikan bahasa persatuan bangsa, justru terpinggirkan di tanahnya sendiri.

Pertanyaan besar pun muncul: sampai kapan suara masyarakat Melayu hanya dianggap “teriakan”, sementara simbol-simbol budayanya satu per satu digilas kekuatan uang dan politik?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *