Daulatkepri.com] Jakarta kemarin disapu. Bukan oleh petugas kebersihan. Tapi oleh emak-emak.
Mereka bawa sapu lidi. Biasanya untuk halaman rumah. Kali ini untuk Senayan. Bukan untuk debu, tapi untuk kotoran negara.
Kursi Mahal
Yang kotor bukan hanya tunjangan, gaji, atau rumah dinas. Kursi DPR dan DPRD sudah kotor bahkan sebelum diduduki.
Mau nyalon DPR? DPRD? Pertama-tama: duit dulu. Kalau tidak ada dana, tidak ada kursi. Mau suara rakyat? Itu juga berbayar. Bohir yang kuat, kursi terjamin.
Begitu duduk di kursi, gaji dan tunjangan itu receh. Yang besar adalah balas budi. Utang pada bohir harus dibayar. Lewat korupsi, transaksi, atau kebijakan titipan.
Contoh dari Batam
Lihat Batam. Ketika Purajaya dirobohkan. Ketika reklamasi ilegal di Teluk Tering jalan terus. Apa yang DPRD lakukan?
Bukan membela rakyat. Bukan menegakkan aturan.
Malah ada rahasia umum: pegiat medsos yang ribut soal Purajaya dan reklamasi ilegal berusaha disuap supaya diam. Amplop jalan. Dikira kritik padam. Terus reklamasi lanjut.
Itu baru DPRD Batam. Bayangkan skala DPR RI: Mainannya bukan hotel, reklamasi, tapi migas, tambang, Freeport.
Bohir & Mafia
Maka jangan heran:
Mafia migor aman.
Mafia tambang makin kaya.
Mafia beras tak tersentuh.
Mafia lahan Batam ekspansi.
Karena kursi itu bukan milik rakyat. Kursi itu sudah dibeli bohir.
Dan kini emak-emak turun. Di rumah, suara emak didengar. Bahkan model “Mulyono” pun biasanya manut.
Apalagi kalau emak-emak sudah bawa sapu lidi ke Senayan. Itu bukan sekadar aksi. Itu peringatan: Jangan main-main dengan suara rakyat.
Kalau mau bersih-bersih, ya sing resik sekalian. Bukan cuma sapu tunjangan, tapi sapu juga kursi kotor, bohir, dan mafia di belakangnya.
Karena siapa wakil rakyat yang benar-benar kompeten, yang berideologi, yang kerja sungguh-sungguh untuk rakyat-mungkin hanya segelintir saja, diantara debu yang ada.
Profil penulis: Monica Nathan, konsultan di bidang teknologi informasi. Hidup di dunia modern, tapi hatinya selalu kembali pada akar: Melayu dan Indonesia.