Home / Politik & Hukum / Kepulauan Riau: Provinsi Muda dengan Warisan Istimewa, Melayu Tempatan yang Tergusur Mafia Lahan

Kepulauan Riau: Provinsi Muda dengan Warisan Istimewa, Melayu Tempatan yang Tergusur Mafia Lahan

Daulatkepri.com] Yogyakarta dikenal dengan gelar istimewa. Sebab, ia adalah jantung budaya Jawa.

Indonesia pun seharusnya punya “keistimewaan” lain. Bukan hanya di tanah Jawa, tapi juga di perbatasan: Kepulauan Riau (Kepri).

Sayangnya, banyak orang di Indonesia tidak mengenal Kepri. Provinsi ini memang baru lahir tahun 2002, setelah dimekarkan dari Provinsi Riau. Sebelumnya, pusat pemerintahan berada di Pekanbaru—jauh dari pulau-pulau di Selat Malaka, Natuna, dan Lingga yang sering dianggap pinggiran.

Akibatnya, orang lebih hafal Riau daripada Kepri. Lebih ingat Pekanbaru daripada Tanjungpinang. Lebih kenal Batam sebagai kawasan perdagangan bebas daripada Pulau Penyengat sebagai pusat bahasa dan sastra.

Padahal, akar bahasa Indonesia justru lahir dari Kepri. Bahasa yang dipakai setiap hari—dari gedung DPR sampai warung kopi—bersumber dari tanah Melayu di perbatasan itu.

 

Bahasa dari Penyengat

Bahasa Indonesia lahir dari bahasa Melayu, tepatnya dialek Riau–Johor.

Dialek ini kemudian dibakukan di Pulau Penyengat, Tanjungpinang, melalui karya Raja Ali Haji—ulama, pujangga, sekaligus intelektual Melayu abad ke-19.

Raja Ali Haji bukan hanya menulis sejarah dan kamus, tetapi juga Gurindam Dua Belas, karya sastra yang menegaskan bahwa bahasa Melayu bukan sekadar alat komunikasi, melainkan fondasi moral dan peradaban.

Bahasanya sederhana. Tetapi justru karena kesederhanaannya, ia menjadi kuat. Itulah yang membuat bahasa Melayu akhirnya dipilih sebagai bahasa persatuan Indonesia pada Sumpah Pemuda 1928.

 

Kitab Moral Melayu

Gurindam Dua Belas, ditulis tahun 1847, terdiri dari dua belas pasal.

Isinya tidak rumit, hanya baris-baris pendek berima. Tetapi maknanya dalam: tentang iman, tentang adab, tentang kepemimpinan.

Dua baris berima, mirip pantun tetapi tanpa sampiran. Ringkas, lugas, mudah diingat—sebuah nasihat yang melampaui zaman.

Itulah wajah sejati Melayu: lembut tapi kuat, santun tapi berwibawa.

 

Bahasa Perdagangan Dunia

Bahasa Melayu tidak hanya tumbuh dari sastra dan budaya, melainkan juga dari perdagangan.

Sejak era Sriwijaya hingga Malaka, bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca di pelabuhan Nusantara.

Pedagang Arab, India, Cina, Portugis, hingga Inggris semua menggunakan bahasa Melayu untuk berdagang. Alasannya sederhana: mudah dipelajari, inklusif, dan mampu menjembatani perbedaan etnis.

Dari Aceh sampai Maluku, orang bisa saling berkomunikasi dalam satu bahasa: bahasa Melayu.

Karena itulah pada 1928, para pemuda Indonesia memilih bahasa ini sebagai bahasa persatuan. Bukan bahasa Jawa yang dominan secara jumlah, bukan pula bahasa Belanda sebagai warisan kolonial, tetapi bahasa Melayu karena ia memang sudah jadi bahasa bersama.

 

Kerajaan yang Dimakzulkan

Namun sejarah Melayu tidak lepas dari luka.

Kesultanan Riau–Lingga, berdiri pada 1824, adalah salah satu kerajaan Melayu terakhir di Nusantara. Pada 1911, Sultan Abdul Rahman II dipaksa turun tahta oleh Belanda.

Istana dibakar. Arsip dan dokumen dimusnahkan.

Alasannya jelas: sultan dianggap simbol kedaulatan, sementara Pulau Penyengat menjadi pusat perlawanan intelektual terhadap kolonialisme.

Selain itu, kekuatan Eropa memang membelah Melayu menjadi dua: Johor jatuh ke tangan Inggris, sementara Riau–Lingga ke tangan Belanda. Politik pecah-belah itu membuat Melayu kehilangan pusat kekuatan politiknya.

Meski demikian, jejak itu tidak hilang. Ia tetap hidup dalam gurindam, dalam hikayat, dalam marwah orang Melayu.

 

Keistimewaan yang Terlupakan

Sejarah mencatat:

Bahasa Indonesia lahir dari bahasa Melayu Kepri.

Kesultanan Melayu terakhir berdiri di Kepri.

Pulau Penyengat dikenal sebagai Bunda Tanah Melayu.

Gurindam Dua Belas menjadi kitab moral bangsa.

Dan bahasa Melayu pernah menjadi bahasa perdagangan dunia.

Pertanyaannya sederhana: kalau Yogyakarta dihormati karena keistimewaan Jawa, mengapa Kepri tidak dihormati karena kemelayuannya?

 

Bhinneka Tunggal Ika dari Kepri

Semboyan bangsa ini, Bhinneka Tunggal Ika, menemukan makna nyatanya di Kepri.

Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia adalah perekat perbedaan itu.

Bahasa ini sederhana, lentur, dan inklusif. Ia mampu menyatukan Minang, Batak, Jawa, Bugis, Dayak, hingga Papua.

Budaya Melayu juga bersifat kosmopolitan. Sebagai budaya maritim, ia terbuka pada pengaruh Arab, India, Cina, hingga Eropa, tetapi tetap menjaga marwah dan identitasnya.

Inilah wajah sejati Bhinneka Tunggal Ika: terbuka pada perbedaan, tetapi kokoh pada jati diri.

 

Melayu Tempatan yang Terhimpit

Namun ironinya, di tanah yang menjadi akar bahasa persatuan itu, orang Melayu tempatan justru terpinggirkan.

Mafia tanah, penguasa modal, dan kepentingan industri kerap menghantam ruang hidup masyarakat lokal. Dari Batam hingga Bintan, dari Karimun hingga Natuna, tanah adat Melayu sering kali tergerus proyek-proyek besar yang jarang berpihak pada rakyat kecil.

Warisan budaya yang luhur seakan ditukar dengan kepentingan ekonomi jangka pendek. Sejarah yang panjang dibiarkan terkubur oleh tumpukan dokumen izin lahan.

Melayu yang dulu menjaga perairan, kini kerap menjadi penonton di tanah sendiri.

 

Menatap Indonesia dari Kepri

Kepulauan Riau memang provinsi muda di atas kertas. Tetapi warisannya tua, bahkan lebih tua dari Republik ini.

Kepri adalah tempat lahir bahasa Indonesia, pusat kesultanan terakhir, dan simpul sejarah maritim Nusantara.

Kini, saat Indonesia bicara tentang identitas kebangsaan, sudah waktunya menengok kembali ke akar itu.

Kalau Yogyakarta punya Jawa, Indonesia punya Kepri.

Ini bukan soal besar atau kecil, tua atau muda, tetapi soal berani menegaskan identitas:

Inilah aku, Kepri  akar bahasa, budaya, marwah, dan persatuan Indonesia.

 

 

Penulis: Monica Nathan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *