Dari Penyengat ke PBB New York: Perjuangan Megat Rurry Afriansyah Menjaga Marwah Melayu

Avatar photo

Daulatkepri.com] Di tengah gemerlap kota Batam dan hiruk-pikuk pembangunan yang tak pernah berhenti, ada satu nama yang kini kian lantang disebut: Megat Rurry Afriansyah. Pria kelahiran Pulau Penyengat, 2 April 1980, ini bukan sekadar pebisnis atau aktivis. Baginya, menjaga marwah Melayu bukan pilihan, melainkan takdir yang diwariskan sejak lahir.

Jejak Keluarga Perintis Batam

Rurry adalah anak ketiga dari Ir. H. Zulkarnain Nadir, sosok perintis yang ikut membuka Batam pada 1972, jauh sebelum wilayah ini dikelola Otorita Batam. Kala itu, Batam hanyalah hutan bakau dan semak belukar. Jalan tanah, rawa-rawa, hingga Nagoya yang kini dikenal sebagai pusat perdagangan, pernah disentuh langsung oleh tangan perencanaannya.

“Setiap kali Lebaran, ayah selalu mengajak salat di masjid bukit—yang kini dikenal sebagai Bukit Senyum. Menghadap Singapura, megah, dan penuh simbol persaudaraan. Itu cara ayah menanamkan sejarah kepada kami,” kenang Rurry.

Darah perantau sekaligus bangsawan mengalir di tubuhnya. Dari pihak ayah, ia mendapat semangat birokrat perintis; dari pihak ibu, ia mewarisi darah Melayu Penyengat—jantung sejarah Kesultanan Riau-Lingga.

Identitas Riau yang Terbelah

Sejak kecil, Rurry dibesarkan dengan cerita tentang tanah leluhurnya. Tentang Riau sebelum 1945, tentang pemindahan ibu kota ke Pekanbaru pada 1958, hingga perjuangan pemisahan Kepulauan Riau yang baru terwujud pada 2002.

Baginya, nama “Riau” selalu mengandung luka. Traktat London 1824 yang membelah dunia Melayu membuat gugusan pulau di Bintan, Lingga, dan Penyengat kehilangan identitasnya. Sejak saat itu, sejarah Melayu perlahan dipinggirkan.

“Kalau kita tak kenal sejarah, kita tak kenal jati diri,” pesan Tengku Fuad, salah satu sesepuh Penyengat yang kelak menjadi kompas hidup Rurry.

2014: Titah Para Sesepuh

Titik balik hidup Rurry datang pada 2014. Para tetua Melayu—kawan perjuangan ayahnya—memanggil dan memberi titah.

“Jangan hanya jadi saudagar. Dedikasikan hidupmu untuk masyarakat Melayu. Rebut kembali nama Riau. Jadikan Kepri daerah istimewa. Bangunkan kembali semangat Melayu,” kata mereka.

Sejak itu, Rurry menerima amanah. Ia mendirikan Koperasi Melayu (2017) untuk memberdayakan nelayan, petani, dan ibu-ibu pulau. Bukan dengan uang tunai, melainkan dengan alat tenun, mesin batik, keramba, dan pupuk. Ia ingin masyarakat Melayu mandiri, bukan sekadar menjual tanah dan menyesal di kemudian hari.

Purajaya: Mahkota yang Dirampas

Namun, puncak kebanggaan keluarga justru menjadi luka terdalam. Hotel Purajaya—simbol kerja keras ayahnya sekaligus mahkota marwah Melayu di Batam—dihancurkan pada 2023.

Ia melawan ke Polda, DPR, hingga Presiden. Semua jalan buntu. Rurry melihat jaringan gelap di balik puing: mafia tanah, pejabat yang bungkam, hingga aliran uang besar yang menutup semua pintu hukum.

“Mereka punya ratusan miliar dolar. Saya hanya punya masyarakat Melayu yang berdarah pejuang,” tegasnya.

Dari Batam ke PBB

Sejak itu, perjuangannya meluas. Dari koperasi, ia beralih ke medan politik, hukum, dan diplomasi. Ia menegaskan bahwa Kesultanan Riau-Lingga tak pernah menyerahkan peta dan tanahnya kepada siapa pun. Bahkan jika harus diuji ke Den Haag, ia siap.

Puncaknya, jelang ulang tahun ke-23 Provinsi Kepulauan Riau, Rurry secara resmi mengirim surat ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. Ia meminta keadilan bagi bangsa Melayu dan perlindungan marwah tanah Riau-Kepri.

“Semoga Kepri tetap menjadi rumah damai bagi siapa pun. Tempat marwah Melayu dijaga, alam dilindungi, dan keadilan ditegakkan. Generasi muda harus berani berdiri tegak, melanjutkan perjuangan tanpa takut uang dan kekuasaan,” tulisnya dalam surat itu.

 

Pantun Perlawanan

Di berbagai forum, Rurry kerap menutup pidatonya dengan pantun ciptaan sendiri:

Bukan Melayu sembarang Melayu
 Inilah Melayu, si tuan rumah.

Apa tanda kami Melayu
Tak banyak bising, tak banyak bunyi.

 

Bagi Rurry, pantun bukan sekadar tradisi, melainkan senjata kultural untuk menjaga martabat.

Makna HUT Ke-23 Kepri

Bagi banyak orang, ulang tahun ke-23 Provinsi Kepulauan Riau hanyalah pesta tahunan. Tetapi bagi Rurry, momen ini adalah panggilan untuk memastikan Riau-Kepri tumbuh makmur tanpa kehilangan jati diri.

“Ramah pada dunia, namun teguh menjaga marwah Melayu. Itu harga mati,” tegasnya.

Dengan semangat itu, ia menutup pesannya:

Salam joeang bangse Melayu.
#save_bumiputra #save_riaukepri #save_marwahmelayu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *