Daulatkepri.com ] Belum hilang dari pemberitaan diberbagai media baik lokal mau media arus utama tentang penetapan 4 pulau di Aceh menjadi milik Sumatera Utara oleh Kemendagri. Sebuah kelancangan birokrasi telah dipertontonkan demi sebuah kekuasaan terhadap oligarki. Aceh yang sudah damai, Aceh yang sudah duduk sejajar dengan provinsi lainnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia di buat gaduh oleh penguasa yang kita tidak faham apa maksud dari pada mendeclare 4 pulau itu menjadi milik Sumatera Utara.Selasa [17/06/2025].
Harga diri dan Marwah Rakyat Aceh terusik, suasa manjadi panas dan banyak argumentasi berseliweran mulai dari kedai kopi media sampai ke ruang wakil rakyat dan istana pemangku kekuasaan. Akar dari kejadian ini tidak lain adalah karena keserakahan, lupa dan lupa akan sejarah. Hal ini bukan merupakan hal baru terjadi di negeri yang katanya mengangung agung kan demokrasi dan hukum.
Contoh serupa juga terjadi di Kepri dan Batam. Tentu kita juga masih sangat ingat bagaimana penguasa ingin merampok tanah rakyat di Rempang dengan membalut nya dengan PSN, Perampokan hak kelola pelabuhan Batam Centre dari PT. Sinergi Tharada oleh pihak yang tidak memiliki kapasitas pengelolaan yang diasuh oleh pengusaha yang korup demi kelompok dan golongan mereka saja. Sesungguhnya negeri ini sudah jauh dari visi kemerdekaan yang di perjuangkan oleh para tokoh kemerdekaan kita dahulu, dimana kemerdekaan bertujuan agar bangsa dan rakyat ini untuk lebih sejahtera, adik dan makmur.
Peristiwa pengalihan kepemilikan pulau dari Aceh ke Sumatera Utara sangat identik dengan apa yang terjadi dengan pengalihan hak tanah dari PT. Dani Tasha Lestari ke PT. Pasifik Propertindo. Penguasa dalam hal ini melihat ada *”cuan”* lebih besar jika lahan tersebut diambil paksa dan diberikan kepada pemodal karena lokasi tersebut memiliki nilai ataupun harga yang sudah sangat tinggi dan ekonomis.
Coba kita bayangkan betapa sangat zolimi terhadap pengusaha/ pemilik pemilik hotel Purajaya perlakuan pemerintah melalui BP Batam mencabut hak atas lahan yang telah dimiliki oleh PT. Dani Tasha Lestari selama 30 tahun, karena keterlambatan 11 bulan saja, lahannya berpindah tangan. Sadisnya bangunan hotel yang nilainya ratusan milyar dirobohkan dengan semena mena tanpa dasar hukum yang jelas.
Purajaya itu terlepas banyak persepsi ataupun sudut pandang dari banyak pihak, hotel Purajaya adalah media tumbuh dimana cikal dari keberadaan Provinsi Kepri. Disana visi dan misi para tokoh Kepri dibangun dan menetapkan hati untuk menjadi provinsi yang mandiri dan lepas dari provinsi induknya karena memang sangat berbeda karakter kewilayahan antara Kepri dengan Riau sebagai provinsi induk walaupun keduanya adalah provinsi yang berbasiskan bangsa Melayu.
Purajaya adalah sejarah dan icon Melayu yang hadir seiring perkembangan pulau Batam sebagai daerah Industri.
Namun saat ini Purajaya sudah rata dengan tanah akibat ketamakan penguasa yang menghamba pada pemilik modal dan seperti nya juga menjadi bagian dari lingkaran mafia lahan yang beroperasi di Kepri dan Batam.
Purajaya menjadi korban diatas kesombongan para penguasa dan pemilik modal yang menenggelamkan jiwa jiwa tempatan dan narwah Melayu yang bersendikan kultur keislaman, toleransi serta kemakmuran warga.
Kemana harus dibawa ruh Purajaya ini saat kondisi penguasa begitu gelap mata dengan cara cara menjijikan menjalankan kuasa nya bersama pemilik modal…? Jawabnya mungkin adalah *AMOK MELAYU*
Semoga jalan gelap kekuasaan ini oleh Tuhan Yang Maha Kuasa diberikan kebaikan dalam perjuangan para pihak yang menjadi korban, Rempang, Sinergi Tharada, Purajaya dan lainnya.
Penulis : Azhari, ST, M.Eng