Daulatkepri.com] Direktur Eksekutif Non-Government Organization (NGO) Indonesia Law Enforcement (ILE) Raza Hasibuan, SH, menyatakan Kepala BP Batam secara istitui tidak dapat cuci tangan terhadap masalah pencabutan alokasi lahan serta perobohan Hotel Purajaya. Kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh Kepala BP Batam sebelumnya, meski ada unsur pertanggungjawaban personal secara pidana, tetapi pertanggungjawaban secara institusi melekat pada Lembaga.Batam [20/06/2025].
”Kepala BP Batam yang lama (Muhammad Rudi) tetap bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan hukum, jika secara pidana dapat dibuktikan. Tetapi pertanggungjawaban institusi terhadap kebijakan tidak dapat ditimpakan hanya kepada pejabat lama. Kepala BP Batam yang baru harus melihat secara komprehensif, yang mana kebijakan dan yang mana tindakan personal. Jika kebijakan pemimpin yang lama terdapat kesalahan atau kekeliruan, Kepala BP Batam yang baru harus melakukan perbaikan, karena pertanggungjawaban institusi tetap melekat di dalamnya,” kata Raza Hasibuan kepada wartawan, saat dihubungi di Jakarta, Jumat, 20/6/2025.
Direktur Eksekutif ILE itu menyayangkan sikap Amsakar Achmad sebagai Kepala BP Batam yang terkesan tidak menghiraukan surat berupa amanah dari Wakil Ketua DPR RI, Ir H Sufmi Dasco Ahmad, SH, MH, yang disampaikan pada 28 Februari 2025. Wajar saja pimpinan DPR RI, atas rekomendasi dari Komisi III DPR RI, mengingatkan lembaga penegak hukum, seperti Mahkamah Agung, Komisi Yudisial yang mengawal perilaku hakim-hakim, serta Kepolisian RI.
”Sangat aneh, jika Kepala BP Batam tidak menghiraukan surat berupa amanah yang disampaikan oleh pimpinan DPR RI, terkait dengan perlakuan yang tidak taat azas, dalam hal ini azas hukum positif. Sebab, di mana pun, berlaku aturan yang sama, yakni penggunaan tanah yang dikuasai oleh negara tidak bisa merugikan rakyat. Apalagi sampai merobohkn asset berharga investor, di atas tanah yang dikuasai negara, itu merupakan tindakan ilegal, bahkan bisa disebut kejahatan terstruktur,” kata Raza Hasibuan.
Dia menyebut kejahatan terstruktur, juga dikenal sebagai kejahatan terorganisasi, adalah tindakan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok yang terstruktur dan memiliki tujuan tertentu. Biasanya untuk mendapatkan keuntungan finansial atau materi. Kelompok tersebut, katanya, terdiri dari minimal tiga pihak, yakni ada pihak yang memilki kekuasaan, dan ada pihak yang mengawal kekuasaan yang berpotensi jadi sewenang-wenang serta da pihak lain yang bertujuan menguasai simber-seumber finansial,” jelas Raza Hasibuan.
Sebelumnya Wakil Ketua DPR RI menyatakan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III dengan Kuasa Hukum PT Dani Tasha Lestari, telah disebut ada campur tangan mafia tanah. Karena itu DPR RI menyetujui Panja Pengawasan terhadap Penegakan Hukum terkait Mafia Tanah Komisi lII DPR RI meminta BP Batam untuk melakukan evaluasi atas pencabutan lahan dan perobohan bangunan Hotel Purajaya.
Untuk mengawal keputusan itu, Wakil Ketua DPR RI menyurati institusi, seperti MA, KY, Kejagung, Kapolri serta BP Batam sendiri. Dalam suratya disebut meminta Mahkamah Agung dan apparat penegak hukum terkait untuk memberikan atensi terhadap penanganan permasalahan tanah dan perobohan bangunan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perobohan Purajaya Tidak Sah Secara Hukum
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menilai perobohan Hotel Purajaya di Batam secara hukum tidak sah. Pasalnya, perobohan dilakukan tanpa perintah pengadilan. Pernyataan ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang membahas dugaan penyerobotan lahan oleh BP Batam.
RDPU tersebut melibatkan kelompok masyarakat adat Melayu yang diwakili sejumlah tokoh, di antaranya Ketua Saudagar Adat Melayu Kota Batam, Megat Rury Afriansyah; Ketua Harian Gerak Garuda Nusantara, Azhari; tokoh adat, Said Andi; dan Ketua Bidang Hukum Lembaga Adat Melayu, Tok Maskur.
Dalam rapat yang digelar di Gedung Nusantara II, Kompleks DPR, Senayan, beberapa waktu lalu. Habiburokhman mempertanyakan dasar hukum perobohan hotel tersebut yang melibatkan aparat penegak hukum tanpa adanya putusan pengadilan. Dikutip dari satu media terbitan Jakarta menyebut eksekusi lahan dan gedung hotel Purajaya menyisakan berbagai masalah hukum yang secepatnya harus diselesaikan.
”Yang saya tahu, eksekusi itu harus dikoordinir oleh pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Oleh karena itu, penegak hukum setempat diundang untuk ikut mengamankan proses pengosongan, itu kalau eksekusi,” ujar Habiburokhman.
”Kalau ini (perobohan Hotel Purajaya), saya enggak tahu apa istilahnya. Saya tidak mengenal istilah hukum yang memungkinkan perobohan tanpa putusan pengadilan. Ini bukan eksekusi,” ucapnya. Dia menyatakan perobohan tanpa ada penetapan eksekusi dari pengadilan adalah pidana.
Redaksi.