“Ada Uang Semua Bisa Diatur?” Saat Bos Rokok Ilegal HD, T3, dan OFO Tetap Bebas, Hukum Seolah Tak Bertaring

Avatar photo

Batam, 31 Oktober 2025

Daulatkepri.com] Pepatah lama “ada uang semua bisa diatur” tampaknya masih menjadi kenyataan pahit di tengah upaya pemerintah memberantas kejahatan ekonomi dan pelanggaran hukum di tanah air. Hingga hari ini, bos besar jaringan rokok ilegal merek HD, T3, dan OFO  yang disebut-sebut dikendalikan oleh Akim alias Asri dan anaknya Bobie Jayanto  masih bebas beraktivitas tanpa tersentuh proses hukum.

Padahal, di berbagai daerah, aparat penegak hukum gencar menindak pedagang kecil dan pengedar kelas bawah yang menjual rokok tanpa pita cukai. Ironisnya, otak utama di balik bisnis ilegal bernilai miliaran rupiah ini justru tetap hidup nyaman, bahkan disebut masih aktif mengendalikan operasi di lapangan.

Jaringan Rapi, Bisnis Berlapis

Informasi yang dihimpun menunjukkan bahwa Akim alias Asri dan Bobie bukan hanya mengendalikan peredaran rokok ilegal, tetapi juga terlibat dalam jaringan bisnis lain yang disebut-sebut berbau praktik mafia  mulai dari penguasaan lahan, pengendalian pasokan bahan pangan, hingga pengaturan distribusi rokok tanpa cukai.

Sumber di lapangan menyebut, “Mereka bukan pemain biasa. Di belakang mereka ada dukungan kuat entah dari oknum pejabat, aparat, atau pengusaha besar lain yang bermain di balik layar.”

Rokok merek HD, misalnya, diketahui beredar luas di berbagai wilayah Batam, Tanjung Balai Karimun, dan sebagian besar kawasan hinterland Kepri Hinga luar provinsi Kepri. Padahal, Menteri Keuangan Purabaya dalam berbagai kesempatan telah menegaskan sikap keras terhadap peredaran rokok ilegal yang merugikan negara hingga triliunan rupiah setiap tahunnya.

Namun, seruan keras dari pusat tampak tak bergema di lapangan. Rokok-rokok ilegal itu tetap beredar bebas di warung-warung, kios pelabuhan, dan pasar rakyat  seolah pengawasan hanya formalitas belaka.

Hukum Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas penegakan hukum dan integritas aparat pengawasan, khususnya di wilayah perbatasan seperti Batam.

Bukan rahasia lagi bahwa ketika aparat berhasil “mengamankan” rokok ilegal, yang sering muncul di berita hanyalah nama-nama kurir, sopir, atau buruh angkut  bukan nama para dalang sebenarnya. Sementara para pemodal besar justru terus melenggang, bahkan kabarnya masih bisa “melobi” agar operasinya tetap aman.

“Mereka tertawa di atas penderitaan masyarakat kecil. Yang ditangkap hanya orang-orang bawah, sementara bosnya masih minum kopi di kafe mewah,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Kartel yang Tertata Rapi

Modus operandi kartel rokok ilegal ini dinilai sangat terstruktur. Barang disalurkan lewat jalur-jalur laut kecil, memanfaatkan celah pengawasan pelabuhan tidak resmi. Setiap tahap memiliki backing dan biaya koordinasi, sehingga jarang ada pengiriman yang gagal.

Jaringan ini juga disebut telah lama bertransformasi menjadi semacam “korporasi gelap”, dengan pembagian tugas yang jelas  mulai dari produksi, distribusi, hingga perlindungan di lapangan.

Di sisi lain, lembaga pengawas seperti Bea dan Cukai dinilai belum menunjukkan langkah tegas. Padahal, kerugian negara akibat rokok ilegal ditaksir mencapai lebih dari Rp 10 triliun per tahun, sementara dampaknya pada industri resmi sangat signifikan: pabrik legal terancam tutup, buruh kehilangan pekerjaan, dan penerimaan negara menurun.

Pertanyaan Publik: Siapa di Belakang Mereka?

Publik kini bertanya-tanya, sampai kapan hukum akan diam melihat para bos rokok ilegal bebas tertawa di atas pelanggaran? Siapa sebenarnya yang melindungi mereka?

Jika benar pepatah “ada uang semua bisa diatur” masih berlaku, maka negeri ini tengah berada di persimpangan moral yang berbahaya. Karena ketika uang bisa membeli keadilan, maka kepercayaan publik terhadap hukum pun ikut terjual.

“Yang kecil ditangkap, yang besar dilindungi. Kalau begini terus, masyarakat akan muak dan kehilangan keyakinan terhadap negara,” ujar seorang pengamat ekonomi kriminal di Batam.

Catatan Akhir

Kasus peredaran rokok ilegal bukan hanya persoalan ekonomi, tapi cermin dari ketegasan hukum dan moralitas aparat negara. Selama “ikan besar” dibiarkan berenang bebas sementara “ikan kecil” ditangkap, maka pemberantasan rokok ilegal tak lebih dari sandiwara hukum.

Dan selama nama-nama seperti Akim alias Asri dan Bobie Jayanto masih bisa menjalankan bisnis haram tanpa rasa takut, publik akan terus bertanya apakah benar di negeri ini, semua bisa diatur dengan uang?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *