Emak-Emak Menyapu Senayan
Daulat kepri.Com] Jakarta- kemarin seperti mendapat “pembersihan.”
Bukan dari pasukan kebersihan DKI,
melainkan dari sekelompok emak-emak.
Mereka datang dengan membawa sapu lidi.
Sebuah benda sederhana yang biasanya digunakan
untuk membersihkan halaman rumah,
namun kali ini diarahkan ke jantung demokrasi: Senayan.
Simbolnya jelas.
Sapu lidi bukan sekadar peralatan rumah tangga,
tapi peringatan keras:
ada yang kotor di tubuh negara,
dan rakyat ingin membersihkannya.
Yang disapu bukan sampah plastik,
melainkan kursi-kursi kekuasaan yang dianggap
sudah berlumur kotoran politik
sejak sebelum diduduki.
Kursi Mahal, Kursi Kotor
Di Indonesia, kursi DPR dan DPRD bukan sekadar jabatan.
Ia adalah “aset politik” yang mahal.
Kotor bahkan sebelum diduduki.
Siapapun yang ingin mencalonkan diri
harus menyiapkan dana besar.
Biaya partai, biaya kampanye, biaya saksi, hingga biaya suara.
Istilahnya: uang dulu, kursi kemudian.
Rakyat memang memilih di bilik suara,
tetapi suara itu sendiri seringkali berbayar.
Yang punya bohir—cukong politik dengan kantong tebal—
lebih berpeluang duduk di kursi kekuasaan.
Begitu terpilih, gaji dan tunjangan bulanan hanyalah recehan.
Yang jauh lebih besar adalah “utang budi politik”
kepada bohir yang membiayai.
Dan utang itu dibayar dengan kebijakan,
dengan proyek titipan, dengan korupsi berjamaah.
Maka tak heran jika begitu banyak regulasi lahir
bukan untuk rakyat,
melainkan untuk segelintir kelompok yang membiayai kursi tersebut.
Contoh Kasus: Batam
Batam bisa menjadi cermin kecil dari masalah besar ini.
Ketika kawasan Purajaya dirobohkan,
ratusan keluarga kehilangan tempat tinggal.
Ketika reklamasi ilegal di Teluk Tering berjalan tanpa henti,
lingkungan pesisir rusak, nelayan kehilangan ruang hidup.
Apa yang dilakukan DPRD Batam?
Bukan membela rakyat.
Bukan menegakkan aturan.
Justru beredar cerita:
pegiat media sosial yang lantang bersuara
didekati dan ditawari amplop.
Uang disodorkan agar kritik padam,
sementara proyek terus melaju.
Kalau skala DPRD saja seperti itu,
bayangkan skala DPR RI.
Bukan lagi proyek hotel atau reklamasi kecil,
tapi konsesi tambang, blok migas, hingga Freeport.
Dengan kata lain, yang dikorbankan bukan hanya satu kampung atau satu teluk,
melainkan kedaulatan energi, sumber daya alam, bahkan generasi bangsa.
Bohir & Mafia
Di balik kursi ada bohir.
Dan di belakang bohir ada mafia.
Itulah sebabnya:
Mafia migor tetap aman meski rakyat antre minyak,
Mafia tambang makin kaya meski lingkungan hancur,
Mafia beras tak tersentuh meski harga pangan naik,
Mafia lahan di Batam ekspansi meski rakyat protes.
Karena kursi itu bukan milik rakyat.
Kursi itu sudah dibeli sejak awal oleh bohir.
Politik pun berubah wajah.
Dari arena ideologi dan gagasan,
menjadi arena investasi dan pengembalian modal.
Yang kalah adalah rakyat.
Yang untung adalah segelintir elite dan patron bisnis di belakangnya.
Emak-Emak Turun Tangan
Dan kini, emak-emak angkat suara.
Di rumah tangga, suara emak adalah yang paling didengar.
Bahkan suami tipe “model Mulyono”—
yang biasanya keras kepala—
akhirnya ikut manut.
Bayangkan jika suara emak-emak itu dibawa ke Senayan.
Dengan sapu lidi di tangan,
mereka tidak hanya menuntut tunjangan disapu,
tetapi kursi kotor sekaligus.
Aksi ini mungkin tampak sederhana,
namun memiliki pesan politik yang tajam:
jangan main-main dengan suara rakyat.
Rakyat tidak hanya bisa memilih setiap lima tahun.
Rakyat juga bisa menuntut pertanggungjawaban,
bahkan mengingatkan dengan cara-cara simbolik yang menyentuh.
Sapu Lidi Sebagai Peringatan
Sapu lidi adalah simbol kekuatan kolektif.
Satu batang lidi mudah dipatahkan.
Tapi jika diikat menjadi sapu,
ia bisa membersihkan halaman yang kotor.
Begitu juga dengan rakyat.
Sendiri mungkin lemah,
tapi bersama-sama bisa menyapu habis
debu, kotoran, dan sampah politik yang menumpuk di kursi kekuasaan.
Kalau mau bersih-bersih,
ya bersih sekalian.
Bukan hanya sapu tunjangan dan gaji,
tetapi juga kursi kotor, bohir, dan mafia di belakangnya.
Karena pada akhirnya,
dari ratusan wakil rakyat yang duduk di Senayan,
mungkin hanya segelintir saja yang benar-benar berjuang
untuk rakyat dengan kompetensi, integritas, dan ideologi.
Sisanya?
Hanyalah bagian dari tumpukan debu yang perlu disapu.
Penulis: Monica Nathan
Subjudul: Emak-emak bersapu lidi, rakyat bersuara. Kursi DPR/DPRD kotor sejak awal, dibeli bohir.