Analisis Hukum: PT Pasifik Estatindo Perkasa Diduga Jadi Inisiator Perobohan Hotel Purajaya Batam, Status Legalitas Masih Abu-abu

Avatar photo

Daulatkepri.com]  Polemik hukum terkait perobohan Hotel Purajaya di Batam terus mengemuka, dengan sorotan tajam terhadap PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) yang disebut sebagai inisiator sekaligus pemberi perintah pembongkaran. Dokumen internal dan fakta hukum di pengadilan memperlihatkan bahwa tindakan ini berpotensi mengandung pelanggaran serius baik secara administratif, perdata, maupun pidana.

Hotel Purajaya, bangunan bersejarah dan simbol geliat awal pembangunan Batam, kini tinggal puing. Perobohan fisik bangunan megah itu, yang diperkirakan memiliki nilai ekonomis mencapai Rp 922 miliar, menimbulkan gelombang reaksi keras dari masyarakat, pelaku hukum, hingga pemerhati tata kelola pemerintahan.

 Perintah Kerja PEP dan Dugaan Aktor di Baliknya

Berdasarkan data dan dokumen yang beredar, PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) Nomor PEP-002/VI.2023 yang ditandatangani oleh Direktur Utama PEP, Jenni. SPK tersebut menjadi dasar operasional bagi PT Lamro Martua Sejati (LMS) untuk melakukan perobohan fisik Hotel Purajaya.

Analisis hukum menyebut bahwa langkah tersebut menjadikan PEP sebagai inisiator langsung atau pemberi perintah utama pembongkaran. Adapun pihak yang diyakini berada di balik keputusan ini adalah Asri alias Akim, sosok kontroversial yang dikenal sebagai pemegang saham terbesar di PEP, serta Bobbie Jayanto, yang disebut-sebut sebagai “putra mahkota” perusahaan dan figur politik berpengaruh di Batam.

Jika tindakan perobohan terbukti melanggar hukum, maka Direktur Utama PEP, Jenni, sebagai pihak yang menandatangani SPK, dapat menanggung tanggung jawab pidana paling besar atas tindakannya. Sementara PT Lamro Martua Sejati sebagai pelaksana teknis juga terancam konsekuensi hukum serius sebagai eksekutor lapangan.

Gugatan Perdata Rp 922 Miliar: DTL vs PEP dan BP Batam

Pemilik sah Hotel Purajaya, PT Dani Tasha Lestari (DTL), telah melayangkan gugatan perdata terhadap PEP, LMS, dan turut menggugat BP Batam melalui Pengadilan Negeri Batam dengan nomor perkara 29/Pdt.G/2025/PN Batam.

Dalam gugatan tersebut, PEP ditetapkan sebagai Tergugat I, LMS sebagai Tergugat II, dan BP Batam sebagai Turut Tergugat. DTL menuntut ganti rugi sebesar ± Rp 922 miliar, menilai bahwa tindakan pembongkaran dilakukan tanpa dasar hukum yang sah dan tanpa adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Perkara ini kemudian naik ke tingkat banding dengan nomor 63/PDT/2024/PT TPG di Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau (PT Kepri). Dalam direktori putusan resmi, posisi PEP sebagai tergugat memperjelas bahwa status hukumnya belum final dan masih disengketakan di pengadilan.

“Fakta bahwa PEP menjadi tergugat utama membuktikan bahwa tindakan mereka belum mendapat legitimasi hukum, baik dalam aspek kepemilikan lahan maupun dalam pelaksanaan pembongkaran,” ujar seorang pengamat hukum tata usaha negara di Batam kepada redaksi.

Aspek Administratif dan Dugaan Pelanggaran

Secara administratif, PEP belum terbukti memiliki hak alih legal penuh atas lahan eks-Hotel Purajaya.
BP Batam memang menyatakan bahwa alokasi lahan seluas ±20 hektar milik PT DTL telah dibatalkan karena tidak dimanfaatkan, namun pernyataan itu tidak serta-merta memberikan dasar hukum bagi PEP untuk mengeksekusi pembongkaran.

Fakta lapangan menunjukkan bahwa akses utama, power house, mes karyawan, dan berbagai fasilitas utama hotel berada di area 20 hektar yang diklaim “tidak dimanfaatkan” tersebut. Sehingga, dalih pembatalan alokasi lahan dinilai tidak berdasar dan bertentangan dengan fakta konstruksi fisik di lapangan.

Lebih lanjut, pembongkaran Hotel Purajaya dilakukan dengan dukungan langsung sekitar 500 personel Tim Terpadu yang dikendalikan oleh Kepala BP Batam saat itu, Muhammad Rudi, yang juga menjabat Wali Kota Batam. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai tumpang tindih kewenangan dan potensi penyalahgunaan jabatan dalam proses pembongkaran tersebut.

Potensi Pelanggaran Pidana dan Gratifikasi

Dari sisi hukum pidana, tindakan PEP bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) jika terbukti merobohkan bangunan tanpa dasar hukum yang valid.
Selain itu, terdapat dugaan bahwa dalam proses memperoleh alokasi lahan, terjadi tindak penyuapan atau gratifikasi yang melibatkan oknum di lingkungan BP Batam atau Pemerintah Kota Batam.

“Apabila terbukti ada aliran dana atau keuntungan politik dalam proses alih lahan dan pelaksanaan pembongkaran, maka hal ini bisa masuk ranah Tipikor (tindak pidana korupsi),” ujar seorang pakar hukum pidana Universitas Riau Kepulauan.

Konteks Sosial dan Moral: Menghapus Jejak Sejarah Melayu

Pembongkaran Hotel Purajaya tidak hanya berdampak hukum, tetapi juga meninggalkan luka sosial dan moral bagi masyarakat lokal.
Bangunan ini dikenal luas sebagai ikon lama perkembangan ekonomi Melayu di Batam, tempat berbagai kegiatan sosial, budaya, dan bisnis pernah berlangsung.

“Hotel itu bukan sekadar gedung, tapi bagian dari memori kolektif masyarakat Melayu. Tindakan merobohkannya tanpa dasar hukum yang jelas adalah bentuk penghilangan sejarah,” kata seorang tokoh masyarakat Belakang Padang.

Masyarakat menilai bahwa PEP dan pihak-pihak terkait harus bertanggung jawab secara sosial, tidak hanya dalam konteks hukum perdata, tetapi juga atas hilangnya aset dan warisan sejarah yang bernilai tinggi.

Ringkasan Tanggung Jawab Hukum PEP

Berdasarkan dokumen dan data yang telah dipublikasikan, tanggung jawab hukum PEP mencakup beberapa dimensi besar:

1. Tanggung jawab perdata  menunaikan ganti rugi kepada PT DTL sebesar ± Rp 922 miliar apabila terbukti melakukan perbuatan melawan hukum.

2. Tanggung jawab pidana apabila terbukti mengeluarkan perintah pembongkaran tanpa dasar hukum sah dan tanpa putusan pengadilan.

3. Tanggung jawab administratif  terkait legitimasi alokasi lahan dan izin pembongkaran bangunan.

4. Tanggung jawab moral dan sosial atas dampak sosial dan kultural akibat hilangnya bangunan bersejarah yang memiliki nilai identitas bagi masyarakat Batam.

Status Hukum Belum Final: Legalitas PEP Masih Dipertanyakan

Hingga kini, belum ada publikasi resmi yang menyatakan bahwa PEP memiliki hak alih legal penuh atas lahan eks-Hotel Purajaya. Tidak ditemukan pula dokumen atau keputusan pengadilan yang menyebut bahwa PEP bertindak sebagai eksekutor yang sah dalam pembongkaran tersebut.

Dengan posisi sebagai tergugat dalam perkara perdata tingkat banding, status legal PEP masih dalam sengketa dan belum final.
Sementara BP Batam, yang seharusnya berperan sebagai pengatur otoritatif lahan, tidak memberikan klarifikasi eksplisit mengenai dasar hukum tindakan tersebut.

Kasus ini kini menjadi sorotan nasional, bukan hanya karena nilai ekonominya yang besar, tetapi juga karena menguji integritas hukum, moralitas kekuasaan, dan konsistensi tata kelola lahan di wilayah otorita Batam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *