BP Batam dan Halusinasi Pertumbuhan Ekonomi
Daulatkepri.Com] Batam kembali jadi sorotan. Setiap kali nama kota ini disebut, bayangan pemerintah selalu melayang ke seberang: Singapura. Kota dagang dunia, pusat logistik internasional, magnet investor, serta PDRB yang melesat. Narasi ini terus diulang dari podium ke podium.
Namun di balik slogan dan presentasi manis itu, Batam masih berdiri di atas pondasi rapuh: korupsi, mafia lahan, dan proyek mangkrak. Visi global yang kerap dipromosikan Badan Pengusahaan (BP) Batam lebih sering terdengar seperti halusinasi dibanding strategi nyata.
Pertumbuhan di Atas Pasir
Contoh paling kentara adalah reklamasi. Teluk Tering, misalnya, ditambal dengan cara yang lebih mirip permainan lego ketimbang rencana matang. Bahkan indikasi penggabungan pulau-pulau kecil demi tambahan lahan kian terbuka.
Pulau Nipah, yang kini berstatus Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dipromosikan sebagai sinyal masuknya investasi besar. Tetapi bagi banyak pihak, KEK ini justru membuka ruang rebutan izin, celah korupsi, dan konflik kepentingan.
Kajian lingkungan? Hampir tidak terdengar. Banjir yang semakin sering melanda Batam seakan jadi bukti bahwa reklamasi dilakukan serampangan. “Kalau laju reklamasi seperti ini, jangan-jangan 25 tahun lagi Batam bukan meniru Singapura, tapi tenggelam lebih dulu,” sindir tokoh Melayu, Megat Rurry Afriansyah, pemilik Hotel Purajaya yang bangunannya pernah dirobohkan BP Batam.
Investor Bawa Janji, Bukan Modal
Dalam catatan resmi, pertumbuhan ekonomi Batam tahun 2023 mencapai 6,8 persen dengan PDRB Rp 216 triliun. Angka-angka ini terlihat meyakinkan. Tetapi di lapangan, kehidupan nelayan pesisir atau pedagang warung tidak mengalami perbaikan berarti.
Mengapa? Karena pertumbuhan lebih banyak ditopang oleh nota kesepahaman (MoU) ketimbang modal riil. Investor datang, tetapi mayoritas hanya menandatangani janji di atas kertas. Proyek besar berulang kali mangkrak di tengah jalan. Meski begitu, BP Batam tetap percaya diri menampilkan grafik naik dalam laporan resmi.
“Statistik pertumbuhan memang ada. Tapi sebagian besar ditopang investasi yang berhenti di MoU, bukan realisasi di lapangan,” ungkap sejumlah pengusaha lokal yang merasa dibohongi.
Politik Panik, Ekonomi Mangkrak
Kondisi ini diperparah oleh gaya komunikasi politik BP Batam yang cenderung panik. Setiap kali ada kritik, jawaban resmi lebih sering berupa klaim optimistis tanpa basis data transparan.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bahkan kerap merilis laporan investasi triliunan rupiah. Tetapi angka itu ternyata berbasis janji, bukan uang tunai yang benar-benar masuk. Akibatnya, masyarakat hanya bisa melihat angka fantastis di media, tanpa dampak nyata pada lapangan kerja.
Purbaya dan Janji Ekonomi Hijau
Masuknya Purbaya, pejabat pusat yang kini tampil sebagai “koboi” penyelamat, sempat menimbulkan harapan. Ia berbicara tentang ekonomi hijau, transisi energi, hingga industri besar berorientasi ekspor.
Namun, menurut pengamat, janji itu hanya akan menguntungkan pengusaha besar yang sudah punya akses. Masyarakat pesisir? Hanya kebagian debu reklamasi dan polusi solar dari kapal proyek. “Rakyat Batam butuh pekerjaan, bukan presentasi hijau di hotel bintang lima,” sindir seorang akademisi Universitas Riau Kepulauan.
Landlord Tanpa Lahan
BP Batam menyebut dirinya sebagai “landlord” atau tuan tanah. Tetapi faktanya, otorita ini tidak punya cukup lahan. Solusinya? Membuka pulau baru lewat reklamasi, atau memasang plang diam-diam di pulau kecil.
Strategi “landlord tanpa land” ini memicu ketegangan dengan warga lokal, yang merasa hak adatnya diabaikan. Alih-alih menjadi pengelola aset strategis, BP Batam kerap dituduh lebih mirip spekulan lahan.
Pertemuan Tanpa Isi
Kegiatan BP Batam juga penuh dengan pertemuan seremonial. Rapat digelar, kunjungan pejabat pusat dilakukan, foto bersama tersebar di media. Tetapi diskusi substansial jarang terjadi.
“Seharusnya pertemuan menghadirkan pengusaha, praktisi hukum, dan pejabat pusat untuk membahas sinkronisasi kebijakan dengan Jakarta. Kalau direncanakan serius, pasti ada hasil. Tapi itu tidak pernah ada,” tegas Rurry.
Kementerian Koordinator Perekonomian hingga Komisi VI DPR RI pun sering hanya datang sebagai tamu kehormatan. Catatan kunjungan dianggap cukup, tanpa tindak lanjut konkret.
Singapura KW 50 Tahun Lagi
Wacana menjadikan Batam sebagai Singapura kedua jelas berlebihan. Singapura berdiri di atas disiplin, integritas, dan penegakan hukum yang konsisten. Sementara Batam masih terjebak dalam lingkaran mafia lahan, korupsi, dan tarik menarik politik lokal.
“Jangan bermimpi menjadi Singapura dalam 50 tahun jika mentalitas kita masih seperti ini,” komentar seorang aktivis masyarakat sipil.
Kesimpulan: Pertumbuhan Versi Halusinasi
Potensi Batam memang tidak terbantahkan. Selat Malaka dilalui perdagangan global senilai lebih dari USD 168 miliar per tahun (data UNCTAD). Posisi strategis ini seharusnya jadi modal utama untuk menjadikan Batam pusat industri dan logistik Asia Tenggara.
Tetapi selama pembangunan hanya diisi angka PDRB kembang-kempis, janji investor di atas MoU, dan presentasi tanpa realisasi, maka pertumbuhan Batam hanyalah ilusi.
BP Batam boleh berhalusinasi membangun “Singapura baru”. Namun jika korupsi, mafia lahan, dan politik akrobatik terus jadi tulang punggung, maka Batam hanya akan menjadi panggung komedi dengan rakyat sebagai penonton yang diminta bayar mahal.