Pam Swakarsa, 1998: The Sequel?
Daulatkepri.Com] Demo besar ini murni rakyat. Begitu kata Pak Mahfud. Akar masalahnya jelas: ekonomi makin berat, harga kebutuhan pokok naik, bansos salah sasaran. Ditambah korupsi, ditambah DPR flexing. Akumulasi kekecewaan berubah jadi kemarahan.
Pak Mahfud juga bilang: tidak ada rencana menggulingkan Prabowo. Isu kudeta hanya hembusan politik. Kalau pun ada yang dompleng, itu belakangan saja. Nama Riza Chalid muncul di bisik-bisik, tapi bukan dia pemicu utama.
Situasi memang panas, tapi Pak Mahfud yakin beda dengan 1998. Saat itu ada bau etnis, ada runtuhnya rezim Orde Baru. Sekarang tidak. Sistem lebih siap, aparat lebih sigap. ”1998 tidak akan terulang,” katanya.
Tapi di jalanan, rakyat tetap trauma. Kata ‘Pam Swakarsa’ kembali diucapkan. TNI buru-buru bilang: itu hanya imbauan, bukan perintah. Tapi apa bedanya di telinga rakyat? Pam Swakarsa adalah hantu lama: rakyat dipaksa hadapi rakyat. Trauma itu masih hidup.
Siapa yang membungkam?
Lalu siapa yang diuntungkan? Bukan buruh. Bukan mahasiswa. Tapi mafia. Mafia tambang tetap ekspor nikel. Mafia migor tetap atur harga dapur. Kartel batubara tetap jadi penyandang dana politik.
Mafia lahan Batam — Akim, BJ, plus bohir AH alias DC — tetap reklamasi. Broker Freeport tetap menambang emas. Jaringan nikel tetap dekat lingkar kekuasaan. Mafia beras tetap main di Bulog. Mafia judi online tetap jalan di bawah kode 303.
Dan jangan lupa, bayangan Mulyono masih panjang: Gang Solo dari Bobby di Blok Medan sampai Kaesang di PSI tersenyum di balik layar, sementara Blok Medan tetap jadi zona abu-abu bisnis dan politik di bawah lampu kota.
Rakyat marah. Buruh turun. Mahasiswa siap. Tapi justru di tengah amarah, mafia senyum. Karena energi rakyat habis di jalanan. Karena sorotan media sibuk pada demo, bukan pada transaksi.
Pak Mahfud benar: 1998 tidak akan terulang. Tapi kalau akar masalah tidak dijawab—ekonomi, korupsi, kebijakan—maka bukan hanya kursi presiden yang bisa goyah. Yang runtuh adalah kepercayaan rakyat.
Pam Swakarsa seharusnya sudah dikubur di buku sejarah. Bukan dihidupkan lagi di jalanan Indonesia 2025. (*)
Profil penulis: Monica Nathan, konsultan di bidang teknologi informasi. Hidup di dunia modern, tapi hatinya selalu kembali pada akar: Melayu dan Indonesia.