Daulatkepri.com] Sebuah langkah bersejarah tengah disiapkan oleh masyarakat adat Melayu Kepulauan Riau. Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga (LAKRL) bersama sejumlah lembaga adat Melayu di wilayah Kepulauan Riau akan mengajukan permohonan pengakuan moral dan historis internasional kepada Peace Palace (Vredespaleis) di Den Haag, Belanda.
Langkah tersebut bukan upaya politik, melainkan bentuk perjuangan kultural untuk menegakkan marwah Melayu seruan moral agar sejarah dan warisan budaya Riau–Lingga diakui sebagai pusat peradaban dan bahasa Indonesia.
Upaya Menegakkan Marwah Melayu
Tokoh muda Melayu Riau–Lingga, Megat Rury Afriansyah, mengatakan inisiatif ini merupakan wujud kesadaran sejarah kolektif. Ia menjelaskan, permohonan tersebut bertujuan memperoleh pengakuan dunia internasional atas status historis dan kultural Riau–Lingga sebagai jantung peradaban Melayu dan sumber lahirnya bahasa Indonesia modern.
“Ini bukan perjuangan segelintir orang. Ini adalah seruan bagi seluruh anak bangsa yang masih mencintai kemelayuan, agar marwah dan sejarah tidak terus dilupakan,” ujar Rury kepada redaksi, Senin (13/10/2025).

Rury menambahkan, penyusunan naskah permohonan ke Peace Palace dilakukan bersama penulis dan para ahli sejarah Melayu. Namun, ia menegaskan, keberhasilan langkah ini sangat bergantung pada solidaritas semua unsur Melayu—baik dari Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga (LAKRL), Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau, maupun para zuriat dan tokoh masyarakat adat.
Permohonan Pengakuan Historis dan Kultural
Dalam surat permohonan yang akan dikirimkan ke Registrar Peace Palace, LAKRL menegaskan bahwa langkah tersebut merupakan seruan damai untuk memperoleh perhatian dan pengakuan moral atas sejarah dan budaya Melayu Riau–Lingga dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Ini bukan bentuk perlawanan terhadap pemerintah Indonesia, tetapi upaya untuk menuntut keadilan kultural dalam kerangka persatuan nasional,” tegas Rury.
Struktur LAKRL sendiri terdiri atas Majelis Pemangku Adat, Dewan Zuriat Kesultanan, Dewan Pendiri, Dewan Pembina, Dewan Kerabat, dan Dewan Pengurus, yang bekerja bersama untuk menjaga kelestarian nilai-nilai adat dan sejarah Kesultanan Riau–Lingga.
Sementara itu, dari pihak Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri, terdapat tokoh-tokoh seperti Dato’ Seri Setia Utama H. Abdul Razak, AB sebagai Ketua Umum dan Dato’ Wira Setia Laksana H. Raja Alhafiz, S.E. sebagai Sekretaris Umum. Keduanya menyatakan dukungan terhadap upaya memperjuangkan pengakuan tersebut selama tetap dalam koridor kebangsaan.
Isi Pokok Permohonan
1. Latar Historis: Riau–Lingga, Jantung Peradaban Melayu
Sejak abad ke-18, Kepulauan Riau–Lingga—dengan pusat pemerintahan di Pulau Penyengat—menjadi episentrum kebudayaan dan pemerintahan Kesultanan Riau–Lingga (1824–1911).
Dari istana megah di Pulau Penyengat lahir sastrawan dan ulama besar Melayu, Raja Ali Haji, yang menulis Gurindam Dua Belas dan menyusun Kitab Pengetahuan Bahasa, karya monumental yang menjadi fondasi bahasa Melayu baku, cikal bakal Bahasa Indonesia modern.
Warisan tersebut menjadikan Riau–Lingga sebagai pusat kelahiran bahasa dan semangat kebangsaan Indonesia.
2. Kehilangan Nama dan Identitas
Setelah pembubaran Kesultanan oleh Belanda pada 1911, wilayah ini kehilangan legitimasi politiknya. Puncaknya terjadi pada tahun 1958, ketika nama “Riau” secara administratif dipindahkan ke daratan Sumatra (Pekanbaru).
Peristiwa itu dianggap sebagai “penghilangan identitas” masyarakat Kepulauan Riau, yang selama ratusan tahun menjadi pusat kebudayaan Melayu. “Nama dan marwah kami seperti dicabut dari akar sejarahnya,” ujar Rury.
3. Kondisi Kekinian: Ironi di Tanah Sendiri
Kini, masyarakat adat Melayu di Kepulauan Riau menghadapi kenyataan pahit. Tanah adat yang diwariskan turun-temurun justru harus disewa kembali dari pemerintah melalui sistem Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO).
“Kami tidak pernah menyerahkan tanah dan laut kami untuk dijadikan komoditas,” tulis LAM Kepri dalam surat pernyataannya. “Kami hanya menuntut keadilan dan perlindungan agar warisan leluhur tidak dilenyapkan oleh regulasi ekonomi.”
4. Tujuan Pengajuan ke Peace Palace
Permohonan yang akan disampaikan ke Peace Palace berisi tiga poin utama:
Pengakuan Nilai Historis dan Kultural
Mengakui Riau–Lingga sebagai pusat lahirnya bahasa dan peradaban Melayu yang menjadi dasar identitas nasional Indonesia.
Dorongan Pengakuan Negara
Mendorong pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa Riau–Lingga, dengan perlindungan hukum atas hak adat, budaya, dan lingkungan maritim.
Dialog Internasional tentang Hak Adat
Memfasilitasi dialog global sesuai prinsip United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP, 2007) tentang perlindungan masyarakat adat.
Seruan Damai dan Keadilan Kultural
Dalam pernyataan penutupnya, LAKRL menegaskan bahwa perjuangan ini tidak bertujuan memisahkan diri dari NKRI. Sebaliknya, langkah ini merupakan bentuk kesetiaan terhadap semangat persatuan Indonesia yang lahir dari tanah Melayu.
“Kepulauan Riau adalah tempat lahirnya bahasa Indonesia dan semangat kebangsaan. Mengakui Kepri sebagai daerah istimewa berarti menghormati akar Indonesia sendiri,” tulis LAKRL dalam surat resminya.
LAKRL juga berharap agar PBB dan UNESCO dapat memberi dukungan moral atas upaya ini, mengingat kontribusi besar Melayu Riau–Lingga terhadap sejarah dan identitas nasional Indonesia.
Menjaga Warisan, Menguatkan Bangsa
Langkah LAKRL dan lembaga-lembaga adat Melayu Kepri menuju Den Haag bukan sekadar simbolik. Ia mencerminkan kerinduan kolektif bangsa Melayu untuk mendapatkan tempat yang layak dalam narasi besar Indonesia.
Riau–Lingga pernah menjadi mercusuar peradaban dan bahasa, tempat lahirnya nilai-nilai kesantunan, kebijaksanaan, dan kejujuran Melayu. Kini, ketika dunia berbicara tentang hak masyarakat adat dan keadilan kultural, seruan dari tanah Melayu ini mengingatkan Indonesia untuk kembali ke akar sejarahnya sendiri: bahwa dari Pulau Penyengat, semangat Indonesia itu bertunas.












