Daulatkepri.com] Tanggal 21 Juni 2023 bukan hanya menandai robohnya bangunan Hotel Purajaya di Batam, tapi juga runtuhnya kepercayaan publik terhadap tata kelola lahan yang adil dan beradab. Perobohan sepihak oleh PT Pasifik Estatindo Perkasa atas perintah BP Batam, tanpa proses hukum yang layak, menjadi gambaran nyata dari wajah kelam birokrasi yang kehilangan rasa keadilan.
Batam, yang sejak awal berada di bawah pengelolaan otorita pusat—bukan pemerintah daerah—sudah lama menjadi ladang subur bagi konflik agraria. Sentralisasi kekuasaan pengelolaan lahan oleh BP Batam menciptakan ruang gelap tanpa cukup pengawasan publik. Dan kasus Hotel Purajaya adalah produk dari sistem yang cacat itu.

Sebuah Pembongkaran Tanpa Hukum
Pemilik lahan, PT Dani Tasha Lestari (DTL), mengklaim memiliki hak alokasi sah seluas 20 hektar dan telah memulai pembangunan di atas lahan tersebut. Mereka pun memegang apa yang disebut sebagai hak prioritas, sebuah hak eksklusif dari BP Batam selama tidak ada pelanggaran berat.
Namun semua itu seakan tak ada artinya.
Tanpa putusan pengadilan, tanpa proses mediasi, dan tanpa peringatan resmi, Hotel Purajaya dihancurkan. Ironisnya, eksekusi dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam setelah surat perintah pengosongan diterbitkan. Ini bukan hanya soal kecepatan, tapi juga soal kedaruratan: darurat prosedur, darurat hukum, dan darurat akal sehat.
Di Mana Negara Saat Hak Dilanggar?
Yang membuat kasus ini begitu mencolok adalah keberadaan aparat negara—TNI, Polri, dan Satpol PP yang justru mengamankan tindakan yang diduga ilegal ini. Negara, dalam hal ini, bukan menjadi penengah yang adil, melainkan menjadi pelindung bagi satu pihak yang punya akses kekuasaan lebih besar.
Pertanyaannya: bagaimana bisa sebuah lahan yang masih dalam sengketa hukum, belum ada putusan, bisa dihancurkan secara sepihak?
Jika ini dianggap wajar, maka tidak ada lagi jaminan bagi siapa pun untuk berinvestasi, membangun, atau sekadar bertahan hidup di atas tanah yang dialokasikan oleh negara. Semua bisa digusur asal ada surat, asal ada kekuasaan.

Mafia Tanah dan Permainan di Balik Layar
Kasus ini tak berhenti di soal perobohan. Ia menguak dugaan yang lebih serius: praktik mafia tanah yang melibatkan oknum lembaga negara dan pihak swasta. Keterlibatan PT Pasifik Estatindo Perkasa sebagai eksekutor swasta menimbulkan tanda tanya besar. Siapa mereka? Mengapa bisa begitu cepat mengeksekusi lahan?
Anggota DPR RI dari Komisi VI bahkan menyebut peristiwa ini sebagai bagian dari skema besar: pengambilalihan lahan oleh jaringan terorganisir yang memanfaatkan celah hukum dan dukungan lembaga negara. Ini bukan sekadar sengketa bisnis ini potensi kejahatan yang sistematis.

Harapan Terakhir: KPK dan Keadilan yang Tak Boleh Mati
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyatakan sedang menyelidiki laporan masyarakat terkait dugaan korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan wewenang dalam pencabutan lahan ini. Tentu, ini menjadi harapan terakhir agar kasus tidak terkubur bersama puing-puing Hotel Purajaya.
Namun KPK tidak bisa bekerja sendiri. Dukungan publik, tekanan media, dan keberanian pengungkapan fakta harus menjadi bahan bakar penyelidikan ini. Jika dibiarkan sepi, maka keadilan akan sekali lagi dikalahkan oleh kekuasaan.
Penutup: Wajah Kita yang Sebenarnya
Hotel Purajaya adalah cermin. Ia memantulkan wajah kita sebagai bangsa—apakah kita benar-benar negara hukum, atau sekadar negara kekuasaan?
Jika tanah bisa direbut tanpa hukum, jika investor bisa disingkirkan tanpa proses, dan jika aparat bisa berdiri di belakang pelanggaran, maka apa arti “negara” bagi warganya?
Kita berhak marah. Tapi lebih dari itu, kita berkewajiban menjaga agar peristiwa seperti ini tidak lagi menjadi “biasa”. Karena ketika ketidakadilan menjadi hal biasa, maka negara telah kehilangan jiwanya.












