Sosbud  

Kasus Purajaya: Jejak Melayu yang Dihapus di Tanah Sendiri

Avatar photo

Pemerintah Takluk di Bawah Mafia Tanah, Pengusaha Pribumi Tergusur dari Sejarah Kepri

Daulatkepri.com] Hotel Purajaya di Batam, yang pernah menjadi markas perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, kini tinggal puing. Bangunannya dirobohkan tanpa penghormatan terhadap sejarah dan tanpa pembelaan dari pemerintah.
Bagi masyarakat Melayu Kepri, peristiwa itu bukan sekadar sengketa lahan melainkan kejahatan budaya yang menghapus jejak pengusaha pribumi dan menodai marwah Melayu di tanah sendiri.

Warisan yang Dirobohkan

Hotel Purajaya milik Ir. H. Zulkarnaen Kadir bukan sekadar tempat menginap. Dalam perjalanan panjang masyarakat Melayu Kepulauan Riau, hotel ini menjadi pusat aktivitas perjuangan pembentukan Provinsi Kepri pada awal 2000-an.
Banyak rapat, diskusi, dan konsolidasi politik dilakukan di sana. Bahkan Presiden ke-4 RI, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah berkunjung dan berdialog dengan para tokoh Melayu Kepri di tempat itu.

“Saya tahu pasti hotel itu dipakai untuk perjuangan pembentukan Provinsi Kepri. Saya pernah ikut rapat di sana, dan masih ingat tiang-tiang batangan kelapa yang dicat hitam di ruang utamanya,” ujar Ir. Nazar Machmud, tokoh Melayu asal Kepri yang kini berdomisili di Jakarta, dalam wawancara dengan wartawan, Rabu (15/10).

Kini, semua kenangan itu tinggal cerita. Bangunan yang menjadi saksi pergerakan masyarakat Melayu kini hanya tersisa debu dan duka.

Jejak Pengusaha Melayu yang Dihapus

Menurut Nazar, tindakan pencabutan hak atas tanah hingga perobohan hotel tersebut merupakan tindakan menenggelamkan sejarah pengusaha Melayu pribumi.
“Perobohan itu bukan cuma soal bisnis, tapi soal identitas. Ini bentuk kejahatan terhadap sejarah Melayu,” katanya tegas.

Bagi banyak kalangan di Kepri, kasus Purajaya memperlihatkan betapa lemahnya perlindungan hukum terhadap pengusaha lokal di tengah dominasi kekuatan ekonomi besar yang kerap berlindung di balik izin dan dokumen hukum yang kabur.

“Pemerintah seolah takluk. Negara diam saat mafia tanah menjarah sejarah,” ujar Nazar.

Riau-Lingga: Pusat Peradaban Melayu Nusantara

Kepulauan Riau bukan sekadar gugusan pulau di perbatasan. Ia adalah jantung peradaban Melayu yang melahirkan Bahasa Melayu bahasa yang kelak menjadi Bahasa Indonesia dan Aksara Arab Melayu (Armel), simbol kecerdasan lokal yang telah berabad-abad menjadi penanda budaya tulis masyarakat pesisir.

“Melayu Kepri itu akar bangsa ini. Jika sejarah mereka dihapus, maka bangsa Indonesia kehilangan sebagian dari jati dirinya,” ujar Nazar.

 

Tokoh ’66 yang Masih Berjuang dengan Pena

Nazar Machmud bukan tokoh sembarangan. Ia dikenal sebagai aktivis Angkatan ’66 yang pernah memimpin pergerakan di Pekanbaru, mengguncang rezim lama, dan memperjuangkan kebebasan informasi di Riau.
“Kami dulu melawan tekanan ideologi yang membungkam rakyat. Sekarang, saya melawan pembungkaman sejarah,” ujarnya lirih.

Dalam bukunya berjudul More Than Batam, Nazar menulis 43 halaman khusus mengenai perjuangan pembentukan Provinsi Keprisebuah catatan yang kini ia perbarui dengan kisah ironis Hotel Purajaya.

“Saya ingin sejarah Kepri ditulis apa adanya, bukan berdasarkan ego tokoh atau kepentingan kelompok. Ini tentang kebenaran dan keadilan sejarah,” katanya.

Kisah yang Diabaikan Penulis Resmi Sejarah

Nazar mengungkapkan bahwa dalam banyak versi sejarah yang beredar, peran Jakarta dan tokoh-tokoh awal seperti dirinya kerap dihapus atau direduksi.
“Sangat disayangkan, para penulis resmi sejarah pembentukan Kepri tidak menulis peran Jakarta maupun perjuangan awal kami. Padahal itu bagian penting dari proses terbentuknya provinsi ini,” ujarnya.

Ia berharap, semua tulisan dan liputan tentang kasus Purajaya dikirimkan ke Tim Penulis Sejarah Pembentukan Provinsi Kepri, yang digagas oleh Huzrin Hood dan Sudirman Almon dengan Prof. A. Malik sebagai Ketua Tim.
“Sejarah tidak boleh ditulis dengan dendam atau kebohongan. Ia harus ditulis dengan nurani,” tuturnya.

Negara yang Diam, Marwah yang Hilang

Kasus Purajaya kini menjadi cermin kegagalan pemerintah dalam melindungi sejarah, budaya, dan rakyatnya sendiri.
Kejadian ini bukan peristiwa tunggal: di berbagai wilayah Kepri, tanah-tanah milik masyarakat adat dan pengusaha lokal perlahan diambil alih oleh jaringan modal besar, dengan alasan legalitas yang sering kali rancu.

“Jika negara terus berpihak pada kekuasaan modal, maka tak lama lagi Melayu hanya tinggal nama di papan museum,” ujar seorang akademisi dari Tanjungpinang yang enggan disebutkan namanya.

Puing yang Bersaksi

Puing-puing Hotel Purajaya kini menjadi saksi bisu pengkhianatan terhadap sejarah.
Di antara reruntuhan itu, masyarakat Melayu kembali mempertanyakan di mana posisi negara:
Apakah di sisi rakyat, atau di sisi pemilik modal?

Seorang warga setempat sempat berujar getir:
“Mereka menghancurkan dinding, tapi yang benar-benar roboh adalah marwah kami.”

Penutup: Jangan Biarkan Sejarah Dipunahkan

Kasus Purajaya harus menjadi alarm keras bagi pemerintah pusat dan daerah. Penghapusan sejarah tidak hanya dilakukan dengan peluru dan perang, tetapi juga dengan alat berat dan surat izin.

Hotel Purajaya mungkin telah tiada. Namun selama masih ada yang menulis, mengingat, dan memperjuangkan marwah Melayu,
sejarah itu takkan benar-benar hilang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *