Daulatkepri.com] Di tengah gegap gempita modernisasi Batam, yang kini dikenal sebagai salah satu motor industri dan perdagangan Indonesia, terselip kisah tentang sebuah bangunan yang pernah menjadi wajah kebudayaan Melayu di pulau ini Hotel Purajaya.
Kini hanya tersisa puing, namun namanya masih disebut dengan penuh rindu. Purajaya bukan sekadar hotel; ia adalah simbol kejayaan identitas Melayu Batam, ketika kota ini masih berdenyut dengan nilai-nilai budaya, bukan semata angka dan investasi.
Dari Pesisir Melayu ke Kota Industri
Sebelum menjadi kawasan industri strategis, Pulau Batam merupakan bagian dari wilayah adat Kesultanan Riau-Lingga yang berpusat di Pulau Penyengat dan Daik Lingga.
Dalam catatan sejarah kolonial Belanda, Batam termasuk dalam gugusan pulau yang menjadi pangkalan nelayan dan pelaut Melayu sejak abad ke-18. Mereka hidup dengan adat pesisir menjunjung tinggi marwah, budi, dan sopan santun sebagai nilai utama.
Namun, sejak awal 1970-an, Batam mulai berubah. Pemerintah pusat membentuk Otorita Batam (OB) yang mengubah pulau-pulau sunyi menjadi kawasan industri dan pelabuhan modern.
Perubahan pesat ini membawa kemajuan ekonomi, tetapi sekaligus mengikis ruang budaya Melayu. Di tengah arus itu, berdirilah sebuah bangunan yang mencoba menjaga keseimbangan antara kemajuan dan identitas: Hotel Purajaya.
Jejak Kemegahan: Purajaya, 1990–2000-an
Hotel Purajaya dibangun pada awal 1990-an oleh pengusaha lokal Batam berdarah Melayu yang memiliki visi sederhana namun bermakna: menghadirkan hotel berstandar modern tanpa meninggalkan akar budaya.
Lokasinya strategis tak jauh dari pelabuhan dan pusat pemerintahan dengan arsitektur yang menonjolkan ornamen Melayu klasik: ukiran bunga tanjung dan pucuk rebung di dinding, atap berlekuk “lancang kuning”, serta pilar kayu jati yang dipoles dengan warna keemasan.

Interiornya memadukan desain modern dan nuansa istana Riau-Lingga. Lantai marmer dipadukan dengan perabot kayu ukir, sementara di ruang lobi selalu tercium aroma dupa dan wangi pandan simbol penyambutan dalam tradisi Melayu.
“Purajaya itu Melayu dalam bentuk nyata,” kenang Harry Harianto, mantan karyawan yang bekerja di sana lebih dari satu dekade.
“Setiap tamu penting datang, kami sambut dengan kompang dan tari zapin. Kami bangga. Rasanya seperti mewakili marwah orang Melayu Batam.”
Pada masa jayanya, Purajaya menjadi tempat favorit para pejabat daerah, pebisnis, dan tamu mancanegara. Ballroom-nya sering menjadi tuan rumah bagi Festival Zapin, pelatihan adat, pertemuan budaya, hingga musyawarah tokoh Melayu Kepri.
Purajaya menjadi bukan sekadar hotel, melainkan panggung bagi kebudayaan lokal.

Suasana yang Tak Tergantikan
Bagi para pegawai, Purajaya adalah rumah kedua. Di sana, mereka tidak hanya bekerja tetapi juga hidup dalam semangat kekeluargaan yang berakar pada nilai-nilai Melayu: saling menghormati, bergotong royong, dan bermusyawarah.
“Pemilik hotel sangat dekat dengan kami,” kenang Harry.
“Kalau ada yang sakit, ditengok. Kalau ada masalah, diselesaikan bersama. Kami makan di dapur staf, tertawa, dan saling bantu. Rasanya seperti satu keluarga besar.”
Kisah seperti ini mencerminkan wajah asli Batam sebelum industrialisasi penuh mengganti wajah sosialnya — Batam yang berjiwa kampung, penuh sopan santun, dan berakar pada budaya Melayu pesisir.
Kini, setelah hotel itu dirobohkan pada 2023, kenangan itu hanya tersisa dalam foto-foto lama dan obrolan nostalgia di grup WhatsApp para mantan karyawan.
“Kalau lewat bekas hotel itu, rasanya seperti lewat masa lalu sendiri,” kata Harry lirih.
“Kami hanya berharap pemerintah tak membiarkan kisah Purajaya hilang begitu saja.”
Runtuhnya Sebuah Simbol
Tahun 2023 menjadi titik balik. Setelah bertahun-tahun terbengkalai akibat sengketa aset antara pengelola swasta dan otoritas daerah, Hotel Purajaya akhirnya dirobohkan.
Langkah itu menimbulkan gelombang kritik dari tokoh adat, budayawan, dan masyarakat Melayu yang menilai perobohan dilakukan tanpa mempertimbangkan nilai historis dan kultural bangunan tersebut.
Menurut arsip Dinas Kebudayaan Kota Batam, Hotel Purajaya termasuk dalam daftar bangunan berpotensi cagar budaya, karena mengandung unsur arsitektur Melayu modern awal 1990-an salah satu yang pertama di Batam.
Namun status itu tak sempat disahkan sebelum pembongkaran dilakukan.
“Ini bukan soal hotel, tapi soal penghargaan terhadap warisan,” kata H. Rusdi Ahmad, pemerhati sejarah Melayu Kepri.
“Purajaya adalah pengingat bahwa Batam pernah punya jiwa bukan hanya beton dan angka investasi.”
Batam dan Krisis Identitas Melayu
Kehancuran Hotel Purajaya menyoroti dilema yang lebih besar: Batam sebagai kota modern yang kehilangan pijakan budayanya.
Dalam 50 tahun terakhir, pembangunan ekonomi telah mengubah wajah sosial kota ini. Penduduk datang dari berbagai daerah, membawa budaya dan bahasa masing-masing, hingga identitas Melayu Batam perlahan memudar.

Padahal, menurut sejarawan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Dr. Ramlah Zahari, Batam justru memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga warisan Riau-Lingga sebagai poros sejarah Melayu dunia.
“Penyengat, Lingga, dan Batam adalah satu jalur sejarah,” ujarnya.
“Kalau Batam mengabaikan akar Melayunya, maka yang hilang bukan hanya bangunan — tapi ingatan kolektif tentang siapa kita.”
Harapan dari Puing-Puing
Dari puing-puing Hotel Purajaya, kini muncul seruan baru: agar pemerintah daerah bersama lembaga adat membangun Taman Budaya Melayu Batam di lokasi bekas hotel.
Usulan ini mencakup rencana pembangunan museum mini arsitektur Melayu modern, ruang pertunjukan seni zapin, dan pusat dokumentasi sejarah Batam.
“Kalau Purajaya tak bisa dikembalikan, setidaknya semangatnya bisa dihidupkan,” ujar tokoh adat Datuk Ismail Ahmad.
“Batam butuh ruang yang mengingatkan kita bahwa kemajuan bukan berarti meninggalkan akar.”
Harapan itu sederhana tapi bermakna — agar generasi muda Batam kelak tidak hanya mengenal mal dan pabrik, tapi juga memahami bahwa di kota ini pernah berdiri hotel yang menjadi simbol marwah dan kemuliaan Melayu.
Di Antara Debu dan Doa
Kini, di lokasi yang dulunya berdiri megah Hotel Purajaya, hanya ada tanah lapang yang mulai ditumbuhi semak dan dikelilingi pagar proyek.
Namun sesekali, ada orang-orang yang berhenti di sana. Ada yang menatap diam, ada yang mengambil foto, ada pula yang memejamkan mata sejenak mungkin mengenang masa ketika Batam masih berwajah Melayu.
Purajaya memang telah tiada.
Namun jiwanya masih hidup di hati mereka yang pernah mencintainya sebagai pengingat bahwa Batam pernah punya wajah yang teduh, berjiwa kekeluargaan, dan berdenyut dalam irama budaya Melayu.
Dan di sanalah, di antara debu dan rindu, Hotel Purajaya tetap hidup sebagai kenangan yang tak pernah padam.












