Daulatkepri.com] Bahasa Indonesia lahir dari rahim Bahasa Melayu.Dan bahasa Melayu lahir dari Pulau Penyengat tanah kecil yang sakral, tempat tinta peradaban bangsa ini pertama kali ditorehkan. Dari sinilah lahir naskah-naskah agung, bahasa persatuan, dan semangat kebangsaan yang kemudian mengikat seluruh kepulauan Nusantara dalam satu identitas: Indonesia.
Namun, ironinya menyakitkan di tempat akar bangsa ini tumbuh, Melayu justru semakin tersisih dari panggungnya sendiri.
Melayu yang Patuh, Melayu yang Runtuh
Budaya Melayu mengalir di setiap penjuru Nusantara: dari Betawi hingga Sambas, dari Pontianak sampai Natuna. Tapi di tanah asalnya sendiri, di Kepulauan Riau (Kepri), masyarakat tempatan kini makin terpinggirkan.
Mereka yang dahulu menjadi penjaga marwah kini justru menjadi penonton di tanah sendiri.
Tanah yang diwariskan leluhur kini berganti tangan, suara rakyat kecil tenggelam di bawah kebisingan industri dan investasi besar.
Ketika otonomi daerah lahir tahun 2000, harapan pun menyala. Kepri memilih berpisah dari Provinsi Riau bukan karena ambisi politik, tetapi karena kerinduan akan keadilan dan kedaulatan ekonomi anak tempatan.
Namun dua puluh lima tahun telah berlalu, dan cita-cita itu nyaris sirna.
Otonomi yang dijanjikan hanya berjalan di atas kertas. Pemerintah berlindung di balik undang-undang, sementara masyarakat lokal makin terdesak. Melayu makin patuh dan karena itu, makin runtuh.
Sejarah yang Terlupa
Dua puluh lima tahun silam, ribuan masyarakat Kepri menyeberangi laut dan turun ke Jakarta, menuntut pemekaran provinsi. Itu bukan sekadar aksi administratif; itu adalah ledakan rasa sakit dari sebuah daerah yang merasa dianaktirikan oleh pusat kekuasaan.
Mereka menuntut hak, bukan belas kasih. Mereka ingin Kepri berdiri di atas kaki sendiri.
Namun kini, setelah lebih dari dua dekade, semangat itu meredup.Ketimpangan masih menggantung di udara otoritas ekonomi tetap tersedot oleh BP Batam, sementara masyarakat tempatan hanya menjadi penonton di panggung megah pembangunan.
Rumah mereka berdiri di tanah kaya, tapi hidup mereka tak pernah beranjak dari kesederhanaan.
Poros Maritim yang Nyaris Punah
Secara geografis, Kepri adalah beranda depan Indonesia di Selat Malaka jalur pelayaran paling sibuk di dunia, jantung perdagangan Asia Tenggara.Namun potensi emas itu tak digenggam oleh tangan anak negeri. Laut bukan lagi jiwa, melainkan hanya angka-angka ekonomi dalam laporan investasi.
Sementara itu, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil masih berjuang bertahan di tengah arus globalisasi yang menelan ruang hidup mereka.
“Perjuangan Kepri bukan semata tentang tanah atau izin tambang, tapi tentang peradaban Melayu yang hampir punah,” tegas Datuk Sarjinan, salah satu tokoh pergerakan Melayu dari Jakarta yang masih konsisten bersuara untuk Kepri.
Belajar dari Riau
Kita dapat belajar dari Riau Daratan. Di sana, kesadaran kolektif tumbuh subur di tengah keragaman etnis.
Wacana “Daerah Istimewa Riau” menggema karena masyarakatnya sepakat bahwa identitas dan kesejahteraan harus dijaga bersama.
Ironisnya, Kepri yang memiliki akar budaya lebih tua dan sejarah yang lebih kokoh — justru terpecah.
Suara Melayu di kepulauan ini melemah, terbelah oleh kepentingan politik dan ekonomi yang sempit.
Mungkin karena kurangnya sosialisasi, mungkin juga karena Melayu terlalu santun untuk menuntut haknya sendiri.
Padahal, bila ingin bertahan, Kepri harus belajar bersatu kembali sebagaimana dulu mereka bersatu saat menuntut berdirinya provinsi sendiri.
Saatnya Menegakkan Marwah
Kini saatnya Kepri berdiri menegakkan marwahnya kembali.
Bukan hanya soal adat dan budaya, tapi juga hak untuk mengatur diri sendiri dan menjaga peradaban yang telah melahirkan bahasa bangsa ini.
Dalam perjuangan ini, Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri memegang peran penting.
LAM tak bisa lagi sekadar menjadi penjaga simbol atau upacara adat
ia harus menjadi penggerak sejarah baru, yang membela tanah, melindungi budaya, dan memperjuangkan kesejahteraan anak negeri.
LAM Kepri harus keluar dari ruang seremonial dan masuk ke ruang perjuangan.
Harus berani bersuara di hadapan pemerintah pusat bahwa Kepri bukan sekadar gugusan pulau, tetapi poros peradaban Melayu yang menjadi akar identitas Indonesia.
Marwah yang Menentukan Takdir
Kepulauan Riau adalah jantung sejarah Nusantara.Bahasa Indonesia bahasa pemersatu bangsa lahir dari naskah-naskah Melayu di tanah ini.
Namun akar itu kini rapuh, karena tidak disiram dengan kebijakan yang adil.
“Melayu adalah akar bangsa. Dan bila akar terus tersiram air raksa, maka pohon besar bernama Indonesia akan mati di pangkalnya.”
Kata-kata ini menggema di hati banyak anak Kepri hari ini.
Karena mereka tahu perjuangan belum selesai.
Kepri tidak boleh menunggu belas kasih pusat.
Kepri harus menjemput takdirnya sendiri menjadi daerah istimewa, bukan karena privilese, tetapi karena sejarah dan kontribusinya terhadap peradaban Indonesia.
Penutup: Menghidupkan Kembali Jantung Melayu
Kepulauan Riau bukan hanya gugusan pulau di peta.
Ia adalah jantung kebudayaan yang dulu membuat Nusantara hidup dan bersatu.
Kini, jantung itu berdetak lemah.
Namun selama masih ada mereka yang berani bersuara, yang menulis, yang mengingat
detak itu tak akan berhenti sepenuhnya.
Kepri harus hidup kembali.
Dengan marwah, dengan martabat, dan dengan kesadaran bahwa tidak ada Indonesia tanpa Melayu, dan tidak ada Melayu tanpa Kepri.
Penulis: Monica Nathan












