Batam 12 Oktober 2025
Daulatkepri.com] Di negeri ini, kejujuran telah menjadi barang berbahaya.
Orang yang berbicara benar sering dipersekusi, sementara yang memutar fakta justru mendapat panggung.
Kejujuran bukan lagi nilai, melainkan risiko.
Dan di Batam kota yang menjadi simbol modernitas Indonesia risiko itu kini menjadi kenyataan pahit bagi masyarakat Melayu tempatan.
Kasus perobohan Hotel Purajaya menjadi titik terang dari gelapnya praktik kekuasaan di balik investasi dan perizinan lahan di Kepulauan Riau.
Kasus ini bukan sekadar soal bangunan yang dirobohkan, tetapi juga tentang bagaimana negara bersekongkol dengan kepentingan ekonomi besar untuk menghapus jejak marwah Melayu.

Purajaya: Dari Simbol Kemajuan Jadi Korban Kepentingan
Hotel Purajaya berdiri sejak awal 2000-an di kawasan Nongsa, Batam.
Bangunan milik PT Dani Tasha Lestari (DTL) itu tumbuh menjadi ikon pariwisata Melayu tempatan memberi pekerjaan, membayar pajak, dan menjadi bukti nyata keterlibatan masyarakat lokal dalam ekonomi Batam.
Namun, pada 2019 hingga 2020, Badan Pengusahaan (BP) Batam mencabut izin alokasi lahan DTL tanpa peringatan maupun tawaran perpanjangan.
Padahal, pengelola mengklaim telah memenuhi kewajiban administrasi dan masih memiliki potensi sewa jangka panjang.
Tiga tahun kemudian, pada 21 Juni 2023, Hotel Purajaya dirobohkan atas perintah BP Batam melalui PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP).
Tak ada mediasi, tak ada penjelasan publik.
Yang tersisa hanya debu dan kemarahan masyarakat Melayu yang menyaksikan simbol kebanggaan mereka dihancurkan tanpa dasar hukum yang jelas.

Mafia Lahan dan Kekuasaan yang Bekerja di Balik Meja
Dugaan keterlibatan mafia lahan dalam kasus ini bukan isapan jempol.
Berdasarkan laporan masyarakat dan temuan lapangan, terdapat sejumlah perusahaan yang diduga menjadi perantara alih kepemilikan lahan dengan dukungan oknum pejabat.
Skemanya klasik: pencabutan izin atas nama “penertiban aset negara”, diikuti pengalihan lahan kepada pihak tertentu dengan dalih “investasi strategis”.
Padahal, praktik semacam itu kerap menjadi kedok untuk memperkaya kelompok tertentu.
Beberapa laporan resmi bahkan telah dikirim ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat penegak hukum.
Namun hingga kini, tak satu pun nama besar tersentuh.
“Yang kecil dipanggil, yang besar dilindungi. Hukum di Batam seperti kapal: yang di atas tenang, yang di bawah tenggelam,” ujar Gerisman Ahmad, tokoh adat Melayu sekaligus Ketua Keramat Rempang-Galang.
Negara yang Lumpuh oleh Kepentingan
Fenomena ini menyingkap wajah lain dari birokrasi Indonesia: negara yang gagap menghadapi keberanian, tetapi gesit melayani kepentingan.
Polisi menunggu sinyal, jaksa menunggu “arahan”, hakim menunggu “petunjuk”.
Dan petunjuk itu, seperti sudah menjadi rahasia umum, sering datang dalam bentuk amplop, bukan dokumen hukum.
Dalam sistem seperti ini, kejujuran menjadi ancaman.
Siapa pun yang bersuara akan dibungkam.
Siapa pun yang menolak suap akan disingkirkan.
Dan siapa pun yang menulis kebenaran akan dilabeli provokator.
Batam adalah miniatur dari penyakit nasional: hukum diperdagangkan, pejabat kehilangan malu, dan rakyat kehilangan kepercayaan.

Melayu yang Dihapus dari Tanahnya Sendiri
Bagi masyarakat Melayu, Purajaya bukan sekadar bangunan.
Ia adalah lambang partisipasi, bukti bahwa masyarakat tempatan bisa berdiri di tengah derasnya arus investasi asing.
Namun, kini mereka justru terpinggirkan di tanah sendiri.
“Melayu sabar, tapi tidak buta,” kata H. Muhammad Idris, tokoh masyarakat Belakang Padang.
“Yang bermain kita tahu, yang mengambil untung pun kita tahu. Tapi Melayu menunggu saatnya.”
Dari Batam hingga Galang dan Rempang, perasaan tersisih semakin kuat.
Mereka yang seharusnya menjadi tuan di rumah sendiri kini merasa menjadi tamu yang diusir secara halus atas nama pembangunan.

Presiden Prabowo dan Ujian Integritas
Presiden Prabowo Subianto kerap berbicara soal kehormatan, kedaulatan, dan keadilan.
Namun di Kepri, tiga kata itu belum terlihat bentuknya.
Masyarakat menanti langkah konkret.
Apakah Prabowo berani menyentuh jaring mafia lahan yang diduga merembes hingga ke lingkar kekuasaan daerah?
Atau justru membiarkan tragedi Purajaya menjadi catatan kelam lain dari lemahnya keberpihakan negara?
Keberanian Presiden kini diuji bukan lewat pidato, tapi lewat tindakan.
Karena keadilan tidak bisa dijanjikan; ia harus diperjuangkan.
Negeri Fobia Kejujuran
Yang paling ironis, negeri ini bukan takut pada korupsi.
Ia takut pada kejujuran.
Karena kejujuran adalah cermin, dan cermin memperlihatkan wajah sendiri.
Sementara itu, rakyat Melayu kini sedang memegang cermin itu tinggi-tinggi.
Mereka tidak menuntut kompensasi, tidak meminta jabatan.
Mereka hanya menuntut satu hal: keadilan yang tidak bisa dibeli.
Itulah yang membuat para koruptor gelisah
karena uang mereka tak bisa membeli harga diri Melayu.
Marwah yang Tak Bisa Dirobohkan
Hotel Purajaya boleh lenyap, tapi marwah Melayu tak akan hilang.
Ia tetap hidup di lidah-lidah yang berani berkata benar,di tangan-tangan yang menolak tunduk pada kekuasaan kotor,dan di hati mereka yang percaya bahwa hukum suatu hari akan menegakkan dirinya sendiri.
Negeri ini boleh fobia pada kejujuran,
tapi kejujuran tak akan pernah mati.
Ia mungkin disingkirkan dari meja kekuasaan,tapi ia akan selalu kembali
melalui rakyat yang tak lagi takut berbicara.
Sebab kebenaran, seperti ombak di laut Melayu,tidak bisa dibungkam.
Ia bisa ditunda, tapi tak bisa dihentikan.
Dan ketika gelombangnya datang,ia akan menghantam semua kebohongan tanpa kompromi.
Sebagai Catatan :
Tulisan ini merupakan refleksi atas konflik lahan dan krisis moral birokrasi di Batam, Kepulauan Riau.
Segala informasi yang disebut bersumber dari laporan publik, wawancara lapangan, dan pernyataan tokoh masyarakat.
Penulis: Monica Nathan












