Daulatkepri.com] Bahasa Indonesia lahir dari pulau kecil bernama Penyengat tanah marwah, tempat Raja Ali Haji menulis Gurindam Dua Belas dan menata logika bangsa melalui tata bahasa Melayu.
Dari pulau itulah lahir bahasa persatuan suara yang memerdekakan negeri ini dari keterpecahan.
Ironisnya, seratus tujuh puluh tahun kemudian, tanah asal bahasa itu justru menyaksikan perobohan lain bukan lagi rumah kata, melainkan rumah seorang anak Penyengat sendiri.
Namanya Megat Rurry Afriansyah.
Anak Melayu yang membangun Hotel Purajaya, lalu menyaksikan tanah marwahnya dihancurkan oleh tangan kekuasaan.

Dari Pulau Bahasa ke Pulau Reklamasi
Megat Rurry bukan sekadar pengusaha. Ia adalah pewaris darah dan budaya — cucu dari peradaban yang dulu menulis akhlak bangsa.
Purajaya didirikan bukan semata bisnis, melainkan pernyataan eksistensi: bahwa anak Penyengat masih mampu berdiri tegak di negeri sendiri.
Namun pada satu pagi, suara burung digantikan deru ekskavator.
Aparat datang sebelum matahari naik.
Bangunan yang dibangun bertahun-tahun rata dalam hitungan jam.
Tak ada negosiasi, tak ada penghormatan.
Yang tersisa hanya surat perintah dan seragam kekuasaan.
Segalanya tampak sah seperti proyek.
Tapi di balik legalitas itu, tersembunyi ironi: negara menggusur anak kandung sejarahnya sendiri.
Negeri yang Lupa Asalnya
Pejabat di podium gemar bicara nasionalisme.
Tapi di lapangan, bahasa yang lahir dari Penyengat kini tak lagi punya rumah di tanah kelahirannya.
Penyengat hanya jadi catatan kaki di buku pelajaran.
Sementara di Batam kota yang dibangun di atas sejarah Melayu keputusan-keputusan penting kini diambil tanpa nurani.
Reklamasi merajalela, tanah rakyat dilucuti, dan otoritas bicara seolah Tuhan telah memberi kuasa tanpa batas.
Negeri ini lupa:
bahasa Indonesia yang diikrarkan pada 1928 adalah bahasa Melayu Riau-Lingga, bukan ciptaan pejabat Jakarta.
Bahasa yang dulu mempersatukan bangsa kini digunakan untuk menulis surat penggusuran.
Ketika Marwah Dijual dengan Harga Proyek
Kata Purajaya berarti kemenangan mulia.
Namun kemenangan apa, jika marwah dikalahkan oleh tender dan izin?
Hotel Purajaya bukan sekadar bangunan — ia simbol keteguhan sebuah keluarga Melayu melawan arus modernisasi yang menindas.
Ketika ia dirobohkan tanpa kejelasan hukum, yang runtuh bukan tembok, melainkan harga diri.
“Saya gagal mempertahankan apa yang Papa bangun.
Padahal itu hadiah pernikahan perak dari Papa untuk Mama,”ujar Rurry dengan suara yang nyaris patah.
Sang ibu, keturunan bangsawan, meminta interior hotel dibuat berjiwa Melayu ukiran kayu, warna emas, motif tanjak di dinding.
Kini semua tinggal puing.
Dan di antara debu itu, tertanam rasa bersalah dan kemarahan yang belum selesai.
Kepri Memanas, Marwah Diuji
Purajaya hanya satu bab dari buku panjang luka di Kepulauan Riau.
Dari Rempang hingga kampung tua di Barelang, dari dompak hingga Punggur, rakyat Melayu terus dihadapkan pada proyek yang datang tanpa hati.
Mereka bukan menolak pembangunan mereka menolak kesewenang-wenangan.
Namun setiap kali mereka bersuara, aparat datang dengan tameng hukum.
Dan lembaga yang seharusnya melindungi, BP Batam, justru menjelma alat pemukul.
BP Batam kini berwajah ganda:
di depan publik, bicara digitalisasi, investasi, green development.
Di belakang meja, membabat habis ruang hidup masyarakat tempatan.
Batam bukan lagi kawasan ekonomi, tapi kawasan eksklusi tempat rakyat kecil tak lagi punya tempat berdiri.

Dari Bahasa ke Pengkhianatan
Bahasa Indonesia lahir dari kejujuran Melayu — dari lidah yang lembut, dari hati yang takut kepada Tuhan.
Namun kini, bahasa itu dipakai untuk menyelubungi kebohongan.
Kata “izin” menggantikan “penggusuran”.
Kata “pembangunan” menggantikan “perampasan.”
Kata “negara” dipakai untuk melegitimasi kerakusan.
Dan ironinya, semua dilakukan di tanah yang dulu menulis Gurindam Dua Belas — kitab yang menuntun bangsa pada adab dan rasa malu.
Hari ini, nasihat Raja Ali Haji seolah diputarbalikkan:
“Barang siapa memegang kekuasaan,
boleh mempermainkan hukum sesuka hati.”
Kepri: Negeri yang Dihapus dari Peta Hati
Nama Riau kini diklaim oleh daratan,
sementara Kepulauan Riau tanah tempat bahasa dan marwah lahir dipinggirkan dari peta kebangsaan.
Padahal, dari laut dan lidah mereka-lah Indonesia belajar berkata santun, menulis dengan logika, dan memimpin dengan rasa.
Kini, masyarakat tempatan hidup di bawah bayang otoritas tanpa empati.
Mereka diatur tanpa diajak bicara, digusur tanpa diberi ruang untuk menjelaskan.
Batam menjadi laboratorium kekuasaan bukan laboratorium kemajuan.
Bahasa yang Kembali Menuntut
Hotel Purajaya memang sudah hilang dari peta.
Tapi luka itu belum mati.
Ia menjelma menjadi pergerakan senyap perlawanan kultural dari rakyat yang masih percaya bahwa marwah tak boleh dikorbankan di altar proyek.
Bahasa yang lahir di Penyengat kini menuntut kejujuran dari anak-anak bangsa yang sudah lupa akar.
Jika negara terus menindas tanah asal bahasanya,maka bahasa itu sendiri akan kehilangan maknanya.
Negeri ini boleh menulis ribuan peraturan,
tapi ia tak akan pernah berdaulat
selama ia terus menghina tanah tempat bahasanya dilahirkan.












