Daulatkepri.Com] Pernyataan Wali Kota Batam Amsakar Achmad tentang satu keluarga 5 orang yang melakukan jual beli tanah yang terlah diberi PL (Penetapan Lokasi) menuai protes dari keluarga pemilik Hotel Purajaya. Narasi itu dinilai telah melukai hati dan melecehkan hak dasar keluarga yang ditinggalkan oleh tokoh Melayu, Alm Zulkarnain Kadir.
Nama Zulkarnain Kadir dikenal luas oleh tokoh Melayu di Kepulauan Riau, khususnya yang giat memperjuangkan terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau. Zulkarnain Kadir merintis usaha pariwisata dan berhasil membangun sebuah hotel bertaraf internasional di kawasan Nongsa, Batam.
Hotel itu berdiri di atas tanah 30 hektar, dengan fasilitas bintang 5 dan terkenal dengan ciri khas Melayu. Mulai dari arsitektur bangunan, ornamen setiap sudut dan sisi ruangan, hingga menu sajian yang ditawarkan kepada wisatawan yang berkunjung ke hotel yang dibangun oleh Sumitomo, kontraktor Jepang, dan beroperasi mulai 1996 .
Dua persil tanah yang diperoleh dari Otorita Batam (sekarang Badan Pengusahaan/BP Batam), terdiri dari 10 hektar tempat berdirinya bangunan hotel yang diperoleh pada 1988, dan 20 hektar tempat fasilitas pendukung diperoleh pada 1993.
Uang Wajib Tahunan (UWT) 10 hektar, tempat berdirinya hotel berakhir pada 7 September 2018. Beberapa bulan setelah berakhirnya masa UWT, pemilik lahan dan bangunan di atasnya, yakni PT Dani Tasha Lestari (DTL) mengajukan permohonan penerbitan faktur. Masa yang seharusnya masih dalam batas toleransi, karena diajukan kurang dari 11 bulan.
Tetapi permohonan itu ditolak pada 30 September 2019, sehari setelah Wali Kota Batam Muhammad Rudi dilantik sebagai Ex Officio Kepala BP Batam. Rudi masa bodoh dengan bangunan dan fasilitas ratusan miliar di atas tanah. Meski telah diajukan rancangan bisnis yang meng-upgrade hotel itu, namun Rudi tidak bergeming. Tampaknya Rudi telah memiliki rancana untuk lahan peninggalan tokoh Melayu itu.
Pada 27 Desember 2022, lahan 10 hektar diberikan kepada pengusaha Tanjungpinang bernama Asri alias Akim. Pengalihan super cepat dalam tempo 2 minggu. Sadisnya, pada 21 Juni 2023, seluruh fasilitas, termasuk gedung yang dibangun Sumitomo dirubuhkan hingga rata dengan tanah.
Perobohan yang dinilai sebagai kezoliman, karena tidak memiliki Penetapan dari Pengadilan. Penghancuran yang menyakitkan karena diintimidasi dengan kekuasaan yang ditandai dengan pengawalan 600 personil sipil dan militer.
Perobohan itu dilakukan di saat PT Dani Tasha Lestari, perusahaan peninggalan Alm Zulkarnain Kadir yang dititipkan kepada istri dan anaknya, sedang berupaya memperpanjang sewa tahunan (UWT/Uang Wajib Tahunan) BP Batam.
Tiga tahun sudah Rury bersama keluarga dan pihak yang simpati memperjuangkan kompensasi atas hotel yang telah dirubuhkan. Di tengah penantian itu, malah pengusaha Ted Sioeng, yang sempat menyatakan akan membeli seluruh saham, bukannya menunaikan pembayaran sesuai dengan perjanjian dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang disepakati di hadapan notaris.
Dia malah mengadukan Direktur PT DTL, Rury Afriansyah ke Mabes Polri, dengan alasan penipuan dan penggelapan Rp25 miliar. Padahal uang itu tanda jadi untuk transaksi saham hotel. Pada akhirnya dalam penyelidikan dan penyidikan polisi, pengaduan itu tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke pengadilan, sehingga Mabes Polri menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Tak sampai di situ saja, Ted Sioeng menuntut pengembalian uang tanda jadi yang diberikan. Tetapi Pengadilan Negeri (PN Batam memutuskan (vonis) uang tanda jadi itu sebagai uang hangus. Vonis yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrach).
Menurut Kuasa Hukum PT DTL, tidak ada lagi masalah hukum terkait kepemilikan hotel. Yang ada hanyalah persoalan tanah dan perobohan yang dilakukan oleh PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) yang dieksekusi oleh PT Lamro Martua Sejati (LMS). Perobohan tanpa dasar hukum (pro Justitia).
Pencabutan lahan dan perobohan hotel telah menjadi perhatian Komisi VI dan Komisi III DPR RI. Wakil Ketua DPR RI, Prof Dr Ir H Sufmi Dasco Ahmad, SH, MH telah menyurati Mahkamah Agung, Komisi Yudisil, Kapolri dan Kepala BP Batam. Dalam surat mengamanahkan agar Kepala BP Batam mengevaluasi pencabutan lahan dan menyelesaikan urusan perobohan hotel.
Memungkiri Sejarah Perjalanan Kasus Purajaya
Bukannya membantu menyelesaikan masalah Hotel Purajaya, Amsakar Achmad sebagai Wali Kota Ex Officio Kepalal BP Batam malah memungkiri sejarah perjalanan kasus Purajaya. Dia menyamakan kasus yang dihadapi keluara dengan 5 orang sama dengan masalah tanah di Kampung Tua. Amsakar seolah lupa tanah di Kampung Tua, tidak bisa diperjual-belikan.
Usai menerima gelar adat Datuk Setia Amanah dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Batam, dia dengan bersemangat seolah ingin menyerang kehormatan ‘keluara dengan 5 orang.’ Siapa lagi, keluarga dengan 5 orang yang memiliki PL atas tanahnya, dan terlibat jual beli dengan tauke?
Amsakar seharusnya paham betul Peraturan Daerah Kota batam Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014. Pasal 1 butir (at) disebut: Perkampungan Tua adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal penduduk asli Kota Batam sebelum tahun 1970 saat Batam mulai dibangun, yang mengandung nilai sejarah, budaya tempatan, dan atau agama yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya.
Diperkuat dengan Keputusan Wali Kota Batam Nomor: KPTS. 105/HK/III/2004 Tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam, Diktum Kedua: Terhadap Kampung Tua yang telah ditetapkan sebagaimana dictum Pertama, tidak direkomendasikan kepada Otorita Batam untuk diberikan Hak Pengelolaan (HPL) Otorita Batam dan kewenangannya di bawah Pemerintahan Kota Batam sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Semuanya itu adalah aturan dasar dalam menata kampung tua, di mana Amsakar Achmad telah 10 tahun lebih menjadi pemimpin di Kota Batam. Tidak seharusnya lupa kampung tua tidak ada urusan dengan PL dan jual-beli kepada tauke, kecuali, memang menyindir Hotel Purajaya.
”Untuk semua yang steril dari alokasi tak pernah dialokasikan ke perusahaan-perusahaan lain. Untuk yang, jika ada masalah jual beli di antara mereka, Insya Allah, di situ dapat kita selesaikan Tuk. Tapi kalau di dalamnya sudah ada PL yang dikeluarkan, di dalamnya sudah ada jual beli antara satu keluarga lima orang menjual dengan tauke tertentu, a ini..” kata Amsakar.
Dalam postingan di sosial media, Amsakar Achmad mengatakan: ”Konteks bicaranya menjawab apa yang disampaikan Yang Mulie R M Amin Kande terkait penyelesaian kampung tua. Tidak ada sedikitpun bicara soal jual beli hotel.” Ketika dijawab oleh Uncle JJ: ”Ape Kampung Tue boleh jual beli kaah?” Malah buzzer membela: ”Tak nyambung Bro….Wak Uban salah sangka tu. Pidato Amsakar tidak ada sama sekali menyinggung masalah case Prajaya. Selidik sangka dan telaah terlebih daulu sebelum kita menuduh seseorang.”
Bagaimana reaksi keluarga Rury Afriansyah sebagai Direktur PT TL, redaksi mengonfirmasi melalui telepon, Rury Afriansyah menyatakan dirinya masih berada di luar kota (Jakarta). Rury menjelaskan akan mengeluarkan pernyataan press release yang akan disampaikan kepada media nasional maupun lokal setiba di Batam dari Jakarta.
Redaksi.