Perobohan Hotel Purajaya Adalah Penistaan Terhadap Melayu

Avatar photo

Batam, 11 Oktober 2025

Daulatkepri.Com] Kasus perobohan Hotel Purajaya di Batam bukan sekadar persoalan hukum dan investasi. Lebih dalam dari itu, ia telah menjadi simbol penistaan terhadap marwah Melayu, luka sosial yang mengguncang akar budaya di Tanah Riau — negeri yang sejak dulu dikenal sebagai jantung peradaban Melayu di Nusantara.

Langkah Badan Pengusahaan (BP) Batam yang mencabut alokasi lahan PT Dani Tasha Lestari (DTL) dan memberikannya kepada PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) pada tahun 2019–2020, lalu berujung pada perobohan fisik bangunan megah Hotel Purajaya pada 21 Juni 2023, kini dinilai bukan hanya cacat hukum, tetapi juga cacat moral dan adat.

Tragedi Purajaya: Dari Sengketa Lahan ke Luka Budaya

Hotel Purajaya berdiri di kawasan Nongsa — wilayah yang menjadi etalase pariwisata Batam sejak era 1990-an. Hotel ini bukan sekadar tempat menginap, melainkan saksi sejarah awal geliat ekonomi pariwisata di Kepulauan Riau.

Namun, kisah kejayaannya berakhir pahit. Tanpa pemberitahuan resmi, BP Batam mencabut alokasi lahan PT DTL dan menyerahkan pengelolaan kepada PT PEP hanya dalam waktu 15 hari sejak pengajuan. Padahal, aturan internal BP Batam sendiri menetapkan proses minimal 45 hari, termasuk konsultasi dan tanggapan publik.

Yang lebih ironis, PT DTL tidak pernah menerima salinan resmi Surat Keputusan (SKEP) alokasi baru yang menyerahkan lahan tersebut ke pihak lain. Di atas tanah yang kini disebut “milik baru” itu, berdiri aset bernilai ratusan miliar rupiah, yang justru menjadi korban perobohan sepihak tanpa dasar hukum pengadilan.

Pada 21 Juni 2023, bangunan megah itu diratakan dengan tanah oleh pihak ketiga atas instruksi PT PEP. Tak ada surat eksekusi. Tak ada putusan pengadilan. Tak ada mediasi adat.

Yang ada hanyalah alat berat, debu, dan tangis kehilangan identitas budaya.

Pelanggaran Hukum dan Pengabaian Marwah Adat Melayu

Dari sudut pandang hukum positif, tindakan perobohan tersebut telah menyalahi asas hukum agraria: tanah dan bangunan adalah dua entitas hukum yang berbeda. Kepemilikan tanah tidak otomatis meliputi kepemilikan bangunan di atasnya. Maka, perobohan tanpa dasar hukum jelas merupakan perbuatan melawan hukum (PMH).

Namun, dari sisi hukum adat Melayu, persoalan ini jauh lebih dalam.

Menurut tokoh adat dan budayawan Riau, tindakan perobohan tanpa musyawarah adat adalah pelanggaran besar terhadap nilai Melayu. Dalam adat Melayu, segala persoalan besar yang menyentuh kehidupan masyarakat  apalagi yang berkaitan dengan tanah dan marwah  harus diselesaikan melalui “musyawarah adat”, bukan kekuasaan sepihak.

“Ini bukan hanya pelanggaran hukum. Ini penistaan terhadap adat dan sejarah Melayu di Batam,” tegas seorang tokoh adat dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri yang hadir saat peninjauan lokasi reruntuhan.

Analisis Hukum Adat: Antara Pengakuan dan Penghormatan

Secara historis, wilayah Batam termasuk dalam wilayah Kesultanan Riau-Lingga, tempat hukum adat Melayu tumbuh dan hidup sejak berabad-abad lalu. Namun secara administratif modern, belum ada Peraturan Daerah atau Keputusan Wali Kota Batam yang secara resmi menetapkan wilayah adat Melayu sebagai subjek hukum adat dengan hak ulayat.

Ketiadaan pengakuan formal inilah yang sering dijadikan alasan oleh lembaga pemerintah dan korporasi untuk mengabaikan dimensi adat dalam setiap kebijakan lahan di Batam.

Padahal, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian, meski hak ulayat Melayu di Batam belum diakui secara administratif, penghormatan terhadap nilai-nilai adat tetap memiliki dasar konstitusional. Negara wajib menghormati hak-hak tradisional masyarakat Melayu.

Keterlibatan dan Sikap Lembaga Adat Melayu

Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri dan Ketua Kesultanan Riau-Lingga telah secara terbuka menyatakan sikap:
perobohan Hotel Purajaya adalah penghinaan terhadap marwah Melayu dan kearifan lokal.

Menurut mereka, tindakan tersebut bukan hanya menggusur bangunan, tetapi juga menggusur sejarah dan kebanggaan orang Melayu di Batam. LAM Kepri mendesak agar BP Batam dan pemerintah pusat melakukan klarifikasi terbuka serta permintaan maaf kepada masyarakat Melayu, karena tindakan tersebut telah menimbulkan luka sosial yang dalam.

Perspektif Hukum Nasional: Di Mana Negara?

Selain pelanggaran moral dan adat, tindakan perobohan ini juga berpotensi melanggar UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, jika terbukti bahwa Hotel Purajaya memiliki nilai historis dan budaya yang terkait dengan perkembangan pariwisata Melayu di Batam.

Selain itu, tindakan eksekusi tanpa dasar pengadilan bertentangan dengan asas due process of law yang menjadi pilar utama negara hukum. Hukum nasional tidak pernah membenarkan seseorang atau badan hukum melakukan perampasan atau penghancuran aset tanpa dasar putusan yang sah.

Artinya, tindakan perobohan ini berpotensi melanggar tiga rezim hukum sekaligus:

1. Hukum adat Melayu,

2. Hukum agraria nasional, dan

3. Hukum perlindungan budaya.

Seruan Moral: Boikot dan Kebangkitan Marwah Melayu

Menyikapi peristiwa ini, Ketua Saudagar Rumpun Melayu menyerukan boikot sementara terhadap seluruh bisnis di bawah grup Pasifik sebagai bentuk perlawanan moral dan sosial.
Seruan ini tidak dimaksudkan sebagai aksi anarkis, tetapi sebagai bentuk pembelaan terhadap marwah dan harga diri Melayu, yang selama ini dianggap hanya menjadi penonton di tanah sendiri.

“Kalau marwah Melayu diinjak, kita tidak boleh diam. Ini bukan soal hotel, tapi soal kehormatan,” ujar salah satu tokoh muda Melayu dalam forum solidaritas di Tanjung Uma.

 

Refleksi: Antara Keadilan dan Kepentingan

Kasus Purajaya memperlihatkan wajah lama Batam  kota yang dibangun di atas investasi, tetapi sering melupakan akar sejarahnya. Di tengah ambisi modernisasi dan ekspansi ekonomi, nilai-nilai adat dan kearifan lokal perlahan digusur, bukan dengan dialog, tapi dengan alat berat.

Padahal, sebagaimana tertulis dalam pepatah adat Melayu:

“Biar mati anak, jangan mati adat.”

Hukum bisa diperdebatkan. SK bisa digugat. Tapi ketika adat dan marwah dilanggar, maka yang hilang bukan hanya bangunan, melainkan jiwa sebuah bangsa.

Penutup

Kasus Hotel Purajaya bukan sekadar konflik investasi. Ia adalah pengingat keras bahwa pembangunan tanpa kebijaksanaan budaya adalah kehancuran dalam diam.
Ketika hukum adat dilupakan dan musyawarah digantikan dengan ekskavator, maka negara bukan lagi penjaga keadilan, tetapi saksi bisu penindasan.

Batam, dan seluruh Kepulauan Riau, harus belajar dari tragedi ini  bahwa marwah Melayu bukan untuk dijual, bukan untuk diratakan, dan bukan untuk dihapus dari sejarah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *